oleh

Menghidupkan Kembali Keahlian Menyumpit, Budaya yang Mulai Ditinggalkan Generasi Muda Dayak di Nunukan

NUNUKAN, infoSTI – Dinas Pariwisata Nunukan, Kalimantan Utara, menggelar lomba sumpit untuk melestarikan budaya dan senjata tradisional khas Dayak di Perbatasan RI – Malaysia, Rabu (15/10/2025).

Ada sekitar 100 peserta dari berbagai etnies Dayak dan Suku Tidung yang ikut dalam lomba sumpit yang digelar di pelataran belakang Gedung Olahraga (GOR) Sei Sembilan, dalam rangkaian perayaan HUT Nunukan 26 ini.

“Saat ini Sumpit kurang diminati pemuda kami. Tersisa orang tua saja yang masih melestarikan senjata adat ini,” ujar pelestari Sumpit, Oktavianus Ramli saat ditemui.

Keberadaan Sumpit, saat ini menurun drastis. Meski sejumlah perajin sumpit masih ada, namun mayoritas orang tua dan jarang generasi muda Dayak yang mewarisi keahlian membuat ataupun menggunakan Sumpit.

Oktafianus menuturkan, Sumpit Dayak, khususnya Dayak Lundayeh, dibuat menggunakan bahan kayu keras, seperti Kayu Nian dan Kayu Natu.

Kayu dengan panjang sekitar dua meter tersebut akan dilubangi dengan bor tangan manual, dengan durasi pengerjaan sekitar sepekan lamanya.

‘’Kalau mau hasil sumpit yang cantik (indah), biasanya dua minggu, karena itu dihaluskan, dibuat menjadi sangat keras dan memiliki daya luncur anak sumpit yang presisi,’’ urainya.

Ujung Sumpit, dipasangi tombak tajam yang berguna sebagai senjata jika anak panah habis. Semacam fungsi bayonet pada senjata api tentara.

Sementara anak sumpit/damek, terbuat dari kayu nipah dengan bandul yang juga terbuat dari kayu ringan sebagai pemberat dan memudahkan luncuran damak.

‘’Sumpit ini adalah senjata untuk mempertahankan diri dan berburu mencari makan. Dan kami kembali hidupkan keahlian bersumpit dengan perlombaan setiap even Kabupaten, Provinsi, maupun agenda nasional,’’ kata Oktafianus lagi.

Bagi Masyarakat Adat Lundayeh, selain Mandau, laki laki wajib memiliki sumpit sebagai identitas adat juga kehormatan suku.

Damek juga terdiri dari dua jenis, damek beracun dan damek yang tidak beracun.

Jika digunakan berburu, masyarakat Lundayeh biasanya menggunakan getah pohon khusus dengan dosis ringan agar binatang buruan lumpuh saat tubuhnya tertembus damek, namun tetap layak konsumsi.

Ketika sumpit digunakan untuk membunuh binatang buas, maka racun yang digunakan, memiliki dosis yang jauh lebih kuat dan mematikan.

‘’Sumpit Dayak itu adalah sebuah seni. Entah itu seni berburu demi bertahan hidup, maupun seni keterampilan dalam mengenai target sasaran tanpa suara,’’ tegas Oktafianus.

Kepala Dinas Kebudayaan Pemuda Olahraga dan Pariwisata Nunukan, Abdul Halid menegaskan, untuk melestarikan warisan leluhur, maka Disbudporapar Nunukan saat ini gencar melakukan pengenalan sumpit kepada kalangan masyarakat maupun  generasi muda  tentang  kearifan lokal maupun nilai dari warisan  budaya.

Selain itu, kepandaian menyumpit ini harus ditempa hingga mencapai suatu tingkat keterampilan yang dapat diandalkan.

‘“Ini penting agar nilai-nilai budaya leluhur kita tetap terjaga di tengah globalisasi yang bisa mengancam kelestarian budaya lokal,’’ kata dia.