oleh

Tangisan Dokter Yuanti di Gedung DPRD Nunukan : 11 Tahun Saya Mengabdi, Pemecatan yang Saya Dapat

NUNUKAN, infoSTI – Pemberhentian empat orang dokter di Nunukan, Kalimantan Utara, berbuntut panjang.

Salah satu dokter yang diberhentikan, dr.Yuanti Yunus Konda, meminta audiens bersama para legislator untuk meminta ruang dan kesempatan membela diri.

Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPRD Nunukan yang digelar Selasa (20/5/2025), dr.Yuanti menyatakan selama ini kesempatan membela diri tertutup, sampai akhirnya pemberhentian dirinya sebagai ASN di Nunukan, di SK-kan pada 14 April 2024 lalu.

‘’Sudah 11 tahun saya mengabdikan diri di Nunukan, tapi endingnya pemecatan yang saya dapat. Saya bertanya apakah kinerja saya buruk. Saya merasa memberikan pengabdian dan pelayanan terbaik saya,’’ ujar Yuanti diantara isak tangisnya.

Yuanti yang terus mengusap air mata dengan lembaran tissue mengutarakan kekecewaannya yang mendalam atas sikap Pemkab Nunukan.

Selama ini, ia dengan tulus mengabdi di Puskesmas Mansalong, Kecamatan Lumbis, yang merupakan pelosok pedalaman Nunukan, dan masuk daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).

Ia hanya tinggal dengan anaknya yang masih kecil, jauh dari keluarga, sementara suaminya bekerja di Papua.

‘’Saat usia anak saya masih setahun, saya ditugaskan menjadi pendamping akreditasi di Pulau Sebatik, saya tidak protes. Saat saya diminta ikut menangani covid-19 di Nunukan, saya berbuat semampu saya, padahal daerah penugasan saya jauh sekali dari kota, tapi semua saya jalani dengan ikhlas. Saya tidak pernah menyangka akan memiliki ending pemecatan,’’ imbuhnya.

Yuanti juga mengaku sama sekali tak mengira, status PNS justru menghambatnya untuk menempuh pendidikan dokter spesialis.

Ia sudah 8 tahun menjadi PNS, sementara merujuk UU ASN, pegawai bisa melanjutkan sekolah setelah mengabdi selama 2 tahun.

‘’Saya sudah 8 tahun jadi PNS, tapi kenapa tidak pernah diizinkan sekolah. Usia saya sudah 35 tahun, kalau ditunda lagi tidak tahu kapan ada kesempatan sekolah. Saya tidak minta biaya Pemda, tapi saya biayai sendiri sekolah saya,’’ katanya berurai air mata.

Sejak 2017, Yuanti sudah pernah mengajukan izin melanjutkan belajar. Namun sejak itu, selembar surat izin yang dia harapkan, tak pernah muncul.

Iapun memutuskan nekat menempuh spesialis akupuntur medis di Universitas Indonesia, sejak 2022.

Di usianya yang 35 tahun, ia harus membayar SPP 35 persen lebih banyak ketimbang usia sebelum 30an tahun.

‘’Kepala Puskesmas Nunukan mengeluarkan surat izin dan surat rekomendasi. Tapi Kepala Puskesmas juga yang akhirnya mengeluarkan SP 1 sampai SP 3, yang berujung pemecatan,’’ tuturnya.

‘’Kalau seandainya memang diproses, kenapa tidak langsung diproses awal awal. Kenapa harus menunggu 3 tahun, baru dipecat. Apakah Dinas Kesehatan senang sekali memiliki prestasi memecat dokter, apakah itu sebuah kebanggaan bagi mereka,’’ protesnya sambil menangis.

Yuanti menitip pesan bagi Dinas Kesehatan Nunukan dan BKPSDM, agar memiliki kebijakan dan pemikiran panjang sebelum memutuskan nasib orang.

Jika memang pengabdian dan pelayanannya di bidang medis tak lagi diperlukan oleh Pemkab Nunukan, alangkah bijaknya jika mereka keluarkan saja surat mutasi, agar ilmu dan pengabdiannya bisa bermanfaat di daerah lain.

‘’Saya melanjutkan sekolah di UI untuk mengambil spesialis. Saya tidak mau nasib saya sampai pensiun hanya terhenti di dokter umum. Tapi yang saya sesalkan dan tak pernah saya duga, pemecatanlah yang saya dapat. Kalau tidak lagi dibutuhkan di Nunukan, kenapa tidak mutasi saja agar saya bisa melanjutkan profesi saya,’’ katanya pilu.

Setelah SK pemberhentian ia terima, Yuanti sempat audiensi dengan Dinkes dan BKPSDM Nunukan, hanya saja, jawaban yang ia terima mengarahkan agar mempertanyakan langsung ke BKN.

‘’Saya tidak mau ke BKN, saya tidak mau menjelekkan Nunukan, sehingga saya lebih memilih untuk hering di DPRD. Terima kasih para anggota dewan memberi saya ruang untuk membela diri,’’ kata dia.

Jawaban BKPSDM Nunukan

Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Nunukan, Sura’i mengatakan, terdapat sejumlah poin yang membuat Hukdis dijatuhkan ke dr.Yuanti.

Diantaranya, tidak memenuhi kewajiban masuk kerja dan mentaati ketentuan jam kerja, sejak 18 oktober 2022.

dr.Yuanti juga melanjutkan sekolah tanpa ada izin dari Pemkab Nunukan.

‘’Sudah diberikan Surat Peringatan/SP 1, SP 2, sampai SP 3. Tapi yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan tanpa keterangan yang sah,’’ urai Sura’i.

Sejumlah alasan tersebut, membuat dr.Yuanti Yunus Konda, dijatuhi hukuman disiplin berat atas dasar Berita Acara tim pemeriksa, dan perintah BKN.

‘’Sesuai dengan ketentuan pasal 11 ayat (2) huruf d, angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2021 tentang disiplin PNS,’’ jawab Sura’i.

Sura’i menegaskan, sebagai ASN, siapapun orangnya harus siap ditugaskan dimanapun, dan tunduk terhadap semua aturan yang berlaku.

Di sisi lain, ada sejumlah kasus pemberhentian dokter yang dilakukan karena sejumlah alasan.

Ada dokter yang sudah lulus sekolah spesialis tapi tak mau kembali bertugas di Nunukan.

Ada juga kasus dokter yang menyelesaikan sekolah spesialis langsung minta ditugaskan di daerah lain.

‘’Mereka sekolah dengan biaya Pemda. Kita tidak mau ketika itu jadi temuan, kita pasang badan mengganti uang tersebut. Apakah ini bisa ditoleransi. Jadi itu sedikit gambaran saja, kalau Bapak/Ibu DPRD butuh data, akan kami siapkan,’’ kata Sura’i.

 DPRD sepakat meminta pemulihan status dokter yang dipecat

RDP yang dipimpin Ketua Komisi 1, Andi Mulyono inipun memanas karena Kabupaten Nunukan masih sangat kekurangan tenaga dokter.

‘’Jadi sebenarnya ketika kita memiliki hal urgen yang memang sangat sangat dibutuhkan masyarakat, seperti tenaga dokter, jangan saklek betul dengan aturan. Ada namanya kebijakan, apalagi ini perbatasan Negara, kita harus menimbang baik buruk, untung ruginya sebuah kebijakan,’’ komentar Andi Mulyono.

‘’Ketika kita melihat aturan dengan kaca mata kuda, bukan kemaslahatan yang kita dapat, tapi masyarakat yang dirugikan. Nunukan pecat 4 dokter, dan itu adalah kejadian luar biasa,’’ kata dia.

Anggota DRPD Nunukan, Ahmad Triadi menyatakan, Kabupaten Nunukan masih jauh panggang dari api dalam urusan cita cita menyehatkan dan mencerdaskan generasi.

Peristiwa pemecatan dokter bukan perkara sepele dan harus dipandang sebuah fenomena luar biasa di tengah sulitnya wilayah perbatasan memiliki dokter.

‘’Nunukan sangat kekurangan dokter, tapi yang kita dengar pemecatan. Ini seharusnya Dinkes harmony dengan dokter. Coba menginventarisir, mempolakan berapa yang bisa diberi tugas belajar. Berapa usia mereka, karena kesempatan sekolah dokter itu sangat langka, dan belum tentu lulus, kenapa dipersulit,’’ katanya.

Jika izin belajar sulit keluarm Kabupaten Nunukan tidak akan pernah lulus dari akreditasi rumah sakit.

Sedangkan ada 3 Rumah Sakit Pratama (RSP) di Nunukan yang diharapkan segera terakreditasi dan mampu melayani kesehatan masyarakat perbatasan RI – Malaysia.

‘’Saya setuju dengan ucapan Ketua Komisi 1, jangan lihat aturan pakai kaca mata kuda. Kalau dokter gak dikasih kesempatan belajar akreditasi RSP kapan? Apakah menangani pasien paru paru, jantung, hingga bedah harus dokter umum, kan tidak begitu,’’ lanjutnya.

Saat ini, pelayanan dokter spesialis di luar Pulau Nunukan, bahkan masih kembang kempis atau senin kamis.

Bagaimana jadinya di daerah pelosok pedalaman, sementara yang di kota saja masih dibutuhkan spesialis.

‘’Kalau difikir tidak ada ruginya Pemda Nunukan. Mereka sekolah biaya sendiri, begitu lulus mengabdi di Nunukan. Lalu kenapa selembar kertas izin sekolah susah sekali didapat. Kalau ada jalannya, tolong panggil lagi dokter yang dipecat itu, kita masih sangat butuh dokter,’’ katanya.

Anggota DRPD Gat Khaleb mengatakan, ada yang salah dengan sistem Pemda Nunukan.

Ia mengaku tak pernah dengar didaerah lain ada pemecatan lebih dari dua dokter.

‘’Kabupaten Malinau itu, menyekolahkan ratusan dokter dengan biaya pemda. Kita di Nunukan ribut, sementara dokter kita justru sekolah dengan biaya mandiri,’’ katanya heran.

Adalah sesuatu hal yang aneh, karena mereka sulit mendapat izin belajar, sementara sumber uang bukan dari Pemda.

Sementara menganut prinsip, pembangunan sebuah daerah bisa berkembang dan maju ketika SDM nya memiliki kualitas dan kapasitas memadai.

‘’Ada yang salah dengan mindset kita di Nunukan. Penghargaan kepada dokter sangat minim, di sisi lain sangat tegas melakukan pemecatan,’’ sesalnya.

Gat mengambil perbandingan dengan Kabupaten Malinau, dimana dokter spesialis digaji dengan kisaran Rp 70 – Rp 80 juta.

Sedangkan di Nunukan, dokter yang ditugaskan di pelosok negeri, jauh dari kota dan terisolir, hanya digaji Rp 11 jutaan.

‘’Kasus pemecatan dokter ini, tak boleh terjadi di masa yang akan datang. Jangan saklek aturan, ada kebijakan, ada hal yang menurut kita penting. Logikanya, kalau tak memberi izin belajar itu mengekang hak orang,’’ kata Gat.

Para Anggota DPRD Nunukan yang hadir, akhirnya menutup rapat dengan kesepakatan untuk rekomendasi pemulihan status dokter yang dipecat.

‘’Apakah kita semua setuju kalau para dokter yang dipecat dikembalikan hak dan statusnya?,’’ Tanya Ketua Rapat, Andi Mulyono.

‘’Setuju, sangat setuju,’’ jawab para legislator Nunukan.

Selanjutnya, Anggota DPRD Nunukan akan mengawal kasus ini ke Badan Pertimbangan ASN dan BKN.

Sebelumnya diberitakan, Pemerintah Daerah Nunukan, Kalimantan Utara, memberhentikan 4 orang dokter dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.

Mereka adalah, dr. Andi Hariyanti, dr.Wahyu Rahmad Hariyadie, dr. Yuanti Yunus Konda, dan dr. Fitriani.

‘’Mereka Tubel (Tugas Belajar), tapi tidak izin ke Pemerintah Daerah. Sejak itu mereka tidak masuk kerja, ada yang sejak 2021, ada yang sejak 2022,’’ ujar Kabid Mutasi, Promosi dan Evaluasi Kinerja ASN, pada BKPSDM Nunukan, Kelik Suharyanto, saat dikonfirmasi.