oleh

Banjir Kiriman Malaysia Menjadi Musibah Tahunan, BPBD Nunukan Tegaskan Sudah Dibahas Dalam Forum Sosek Malindo

NUNUKAN, infoSTI – Banjir kiriman Malaysia, yang saban tahun melanda wilayah pelosok pedalaman dan perbatasan RI – Malaysia di Kecamatan Lumbis Pansiangan, Lumbis Hulu, hingga Kecamatan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, terus menjadi sebuah permasalahan pelik yang tak kunjung selesai sejak dulu.

Banjir bandang terbesar, dalam 3 tahun terakhir, terjadi pada September 2023.

Saat itu, ketinggian air, mencapai 5 meter di areal pemukiman penduduk, dan merendam sejumlah sekolah dan Kantor Camat.

Data BPBD Nunukan mencatat, saat itu, sebanyak 10 desa di Kecamatan Sembakung, mengalami dampak terparah. Bahkan beberapa desa, tenggelam.

Masing masing, Desa Manuk Bungkul, Desa Atap, Desa Lubakan, Desa Tagul, Desa Tujung, Desa Labuk, dan Desa Pagar.

Pemerintah Daerah Nunukan, juga selalu menyiagakan Dana BTT (Belanja Tidak Terduga), sekitar Rp 30 miliar untuk bantuan pasca banjir kiriman Malaysia ini.

Lalu apa saja langkah Pemda Nunukan untuk mengatasi fenomena banjir rutin tahunan ini?

Kepala BPBD Nunukan, Arief Budiman menegaskan, isu banjir kiriman Malaysia, sudah dibahas dalam pertemuan Sosial Ekonomi Malaysia -Indonesia (Sosek Malindo), di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, setahun terakhir.

‘’Isu banjir kiriman Malaysia, menjadi salah satu isu krusial yang dibahas dalam Sosek Malindo di Balikpapan kemarin,’’ ujarnya, ditemui, Selasa (14/1/2025).

Dalam pertemuan antara Pemprov Kaltara dan otoritas Sabah, Malaysia, meminta narasi ‘banjir kiriman’ perlu dipertegas.

Malaysia meminta bukti konkret, yang benar benar menunjukkan bahwa banjir rutin tahunan yang melanda sejumlah wilayah perbatasan di Nunukan, berasal dari Malaysia.

Pemprov Kaltara, mengirimkan ASN Dinas Perbatasan, Yance Tambaru, dan Camat Lumbis Pansiangan bernama Lumbis, untuk menjelaskan persoalan tersebut.

‘’Disana dijelaskan, kenapa dinamakan banjir kiriman. Karena meski wilayah Nunukan tidak hujan, sungai kami banjir. Ada bukti foto, video dan potret kondisi wilayah terdampak banjir diuraikan,’’ jelasnya.

Dalam forum tersebut juga terjadi sedikit perdebatan terkait perbedaan penyebutan nama sungai.

Malaysia, tidak mencantumkan nama Sungai Pansiangan ataupun nama Sungai Sembakung dalam peta sungai mereka.

‘’Perbedaan nama sungai ini membuat mereka tidak puas. Tapi kita ada peta, dimana hulu sungai kami ada di wilayah Malaysia,’’ imbuhnya.

Selain itu, daerah perbatasan Negara, Kecamatan Lumbis Pansiangan ataupun Lumbis Hulu, memiliki geografis yang masih terjaga dengan hutan alaminya.

Berbeda dengan daerah Malaysia, di Keningau, yang sudah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

‘’Artinya ada eksploitasi hutan di wilayah mereka. Dan setelah kita membahas itu, akhir 2024 kemarin, tidak ada penetapan tanggap darurat atas kejadian banjir tahunan. Artinya, Malaysia sudah melakukan sesuatu atas narasi banjir kiriman tersebut,’’ lanjut Arief.

Tindakan Pemerintah RI

Atas peristiwa banjir rutin tahunan yang merupakan banjir kiriman Malaysia ini, Pemerintah RI, juga sudah melakukan pemantauan.

Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), memberikan bantuan 233 unit rumah untuk hunian warga Dusun Tembelunu, Desa Atap, Kecamatan Sembakung, yang memang selalu mengalami dampak paling parah, setiap banjir terjadi.

‘’Pemda Nunukan dalam proses pematangan lahan. Jadi 233 unit rumah yang dialokasikan, masih terus berproses. Semoga itu menjadi salah satu solusi bagi warga yang menderita akibat banjir tahunan,’’ harap Arief.

Bantuan tersebut, lanjut Arief, memang baru menjadi solusi sementara bagi salah satu wilayah terdampak banjir terparah.

Perlu dicatat, banjir kiriman Malaysia, mengakibatkan kerugian tidak sedikit.

Banjir merendam sejumlah kecamatan, mulai Kecamatan Lumbis Pansiangan, Lumbis Hulu, menuju Kecamatan Sembakung, dan kecamatan lain di sekitarnya.

Ternak warga banyak yang mati, sawah mengalami gagal panen, kerusakan fasilitas umum, hancurnya infrastruktur jalan, hanyutnya hunian warga, hingga berpotensi kerawanan pangan.

‘’Ini semua sudah kita laporkan, dan sudah dibahas juga dalam Sosek Malindo kemarin. Kita berharap, fenomena ini teratasi, sehingga Pemda Nunukan tidak perlu selalu mengeluarkan status tanggap darurat banjir setiap tahunnya,’’ katanya lagi.

Untuk diketahui, banjir rutin terjadi setiap tahun di sejumlah wilayah pelosok perbatasan RI – Malaysia, di Nunukan, Kalimantan Utara.

Diduga, banjir tersebut kiriman dari Malaysia. Banjir, berasal dari Sungai Talangkai di Sepulut Sabah Malaysia, yang kemudian mengalir ke sungai Pampangon, berlanjut ke sungai Lagongon ke Pagalungan, masih wilayah Malaysia.

Dari Pagalungan, aliran sungai kemudian memasuki wilayah Indonesia melalui sungai Labang, sungai Pensiangan dan sungai Sembakung.

Musibah banjir kiriman Malaysia, terakhir kali terjadi di Kecamatan Lumbis Hulu, pada Jumat (10/1/2025), pukul 03.00 wita.

Banjir kiriman, berakibat pada meluapnya permukaan Sungai Sulon dan Sungai Sedalir, sampai berdampak pada 10 desa di wilayah tersebut.

Masing masing, Desa Tau Lumbis, Desa Lipaga, Desa Bululaun Hulu, Desa Kalisun, Desa Mamasin.

Desa Sibalu, Desa Duyan, Desa Tuntulibing, Desa Tetagas, dan Desa Kabungolor.

BPBD Nunukan mencatat ada 10 desa terdampak, 109 rumah penduduk terendam, dengan korban 140 KK, atau 567 jiwa.

Banjir juga mengakibatkan kerusakan pada 21 unit gedung yang menjadi Fasilitas umum.

Diantaranya, Kantor Desa Tuntulibing, Gedung Sekolah SDN 001 dan SMPN 1 Lumbis Hulu.

Pustu Tau Lumbis, 10 unit Home Stay di daerah wisata, dan tiang PLN yang roboh.

Banjir juga menyebabkan kualitas air sumur yang menjadi sumber air utama untuk air minum dan MCK, tercemar dan berwarna keruh.

Hal ini diperburuk dengan banyaknya warga yang memelihara ternak.

Sehingga kotoran ayam dan hewan peliharaan lain yang ikut hanyut terbawa air bah, mencemari sumber air.