NUNUKAN, infoSTI – DPRD Nunukan, Kalimantan Utara, mengusulkan dua Raperda terkait hak ulayat Masyarakat Hukum Adat (MHA) serta bantuan hukum untuk masyarakat miskin pada Rapat Paripurna menyoal Raperda inisiatif Pemda dan Raperda Prakarsa DPRD, Selasa (2/9/2025).
Juru bicara Bapemperda DPRD Nunukan, Hamsing, mengatakan, prakarsa Raperda Hak Ulayat MHA, didasari pada lemahnya pengakuan MHA sebagai subjek hukum yang mempunyai hak-hak khusus dan istimewa.
Selain itu, maraknya pelanggaran terhadap hak-hak MHA oleh negara, terutama hak ulayat.
‘’Karena itu, hak-hak MHA harus diprioritaskan dalam hukum dan kebijakan pembangunan Indonesia. Pengakuan dan perlindungan hukum adat, mendorong pemerintah untuk segera mengambil tindakan,’’ ujarnya.
Raperda hak ulayat MHA, juga diusulkan sebagai konsekuensi dari pemekaran wilayah Kecamatan Krayan yang saat ini sudah menjadi lima wilayah administrasi kecamatan.
Hak ulayat MHA Lundayeh berdasarkan Peraturan Daerah Nunukan Nomor 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh pada saat itu (tahun 2004) berada dalam satu wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Krayan.
Hamsing melanjutkan, di Kabupaten Nunukan, tercatat 5 MHA, sebagaimana riwayat masyarakat lokal dan juga tokoh adat setempat.
Salah satunya adalah masyarakat hukum adat Dayak Lundayeh, yang eksistensinya mempunyai sumbangsih krusial terhadap alam, terutama sekali hutan.
Hamsing juga menyampaikan bahwa warisan masyarakat adat harus dilindungi dan dijaga.
Selain itu, masyarakat hukum adat memiliki banyak pengetahuan tradisional, termasuk obat-obatan, sistem pangan dan pertanian, serta berbagai hal lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.
Mereka juga memahami mekanisme pertahanan diri serta cara mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan. Hukum adat yang masih berlaku juga diwariskan kepada masyarakat hukum adat.
”Memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, atau living law, merupakan bentuk rekognisi hukum adat karena hukum adat diakui secara resmi sebagai sumber hukum di Indonesia,” imbuhnya.
Beberapa ketentuan yang direvisi dalam Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat antara lain adalah Pasal 3, yang menyatakan bahwa perda ini bertujuan untuk:
- Mewujudkan masyarakat hukum adat yang aman, toleran, tumbuh, dan berkembang sebagai kelompok masyarakat sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta terlindungi dari tindakan diskriminasi.
- Mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat hukum adat yang telah ada dan berada dalam wilayah daerah yang hidup dan berkembang secara turun-temurun.
- Memfasilitasi masyarakat hukum adat agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
- Memberikan kepastian dan akses keadilan bagi masyarakat hukum adat dalam pemenuhan atas haknya.
- Mewujudkan pengakuan, perlindungan hak, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, terdapat 2.449 komunitas masyarakat adat dengan total 20 juta anggota, dan diperkirakan mencapai 40 hingga 70 juta orang di Indonesia.
‘’Data ini secara tidak langsung memberikan legitimasi kepada Indonesia sebagai negara yang memiliki warisan kultural yang kaya,’’kata Hamsing.
Selain Raperda Hak Ulayat MHA, Hamsing juga menyampaikan Raperda tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin.
Ini bertujuan untuk memenuhi sekaligus mengimplementasikan prinsip negara hukum yang mengakui, melindungi, serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum.
Realitanya, jaminan atas hak konstitusional tersebut, belum mendapatkan perhatian secara memadai.
‘’Oleh karena itu, dibentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara, khususnya orang atau kelompok orang miskin, agar memperoleh akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum,’’ kata Hamsing.