oleh

Kades dan Pemangku Adat di Nunukan Mengadu ke DPRD, Meminta Lima Gua Adat Dikeluarkan dari Peta Kerja PT Inhutani

NUNUKAN, infoSTI – Dua Kepala Desa dan sejumlah pemangku adat dari pedalaman Sembakung Atulai, Nunukan, Kalimantan Utara, mendatangi DPRD Nunukan, Kalimantan Utara, Senin (8/9/2025).

Mereka membawa permohonan agar DPRD Nunukan memfasilitasi suara masyarakat adat yang menginginkan 5 gua adat yang dimasukkan dalam peta kerja PT Inhutani, diselamatkan dan dikeluarkan dari peta Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT Inhutani.

‘’Ada lima Guha Tangkub Inyawok yang masuk RKT PT Inhutani. Kami meminta daerah itu jangan diganggu. Jangan ada penebangan pohon. Dan kami minta daerah itu dicoret dari RKT,’’ ujar Kepala Desa Seludan, Ariyanto, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi 2 DPRD Nunukan, PT Inhutani, PT GAL, UPT Dinas Kehutanan dan Dinas Perizinan Kabupaten Nunukan.

Ketua Adat Desa Pulau Keras, Salang, menuturkan, ada sekitar 560 hektar lahan yang masuk kawasan adat, yang didalamnya terdapat 5 gua yang menjadi sarang burung walet dan menjadi salah satu sumber penghasilan adat.

Salang menegaskan, kawasan adat, merupakan warisan turun temuran yang terus dijaga dan tidak boleh ada gangguan pihak manapun.

‘’Wilayah adat ada sebelum perusahaan PT Inhutani. Itu menjadi warisan kami turun temurun dan kami tidak akan rela itu dirusak dengan alasan penebangan pohon agatis oleh PT Inhutani,’’ kata dia.

Kepala PT Inhutani, Johan mengatakan, tuntutan warga adat akan segera dilaporkan ke atasan dan menjadi atensi juga warning bagi kerja PT Inhutani yang menggandeng PT GAL dalam proyek pembukaan lahan dan penebangan pohon damar.

Ia menegaskan, ada skema yang bisa dilakukan untuk mengakomodir tuntutan dan protes masyarakat adat.

Yaitu, membuat RKT baru untuk 2026, yang mengeluarkan 560 hektar lahan adat dari RKT.

‘’Kalau kita merevisi RKT 2025, prosesnya panjang, dan kemungkinan baru selesai Desember 2025. Jadi lebih baik membuat RKT baru dan mengeluarkan 560 hektar itu dari RKT kami,’’ kata Johan.

‘’Kita sudah dapat jawaban dari direksi pusat, kita mendapat dispensasi untuk mengurangi 50 persen capaian RKT. Jadi tuntutan masyarakat adat terakomodir,’’ jelasnya.

Perwakilan PT GAL, Yayat juga mengamini masalah lahan adat tersebut.

Sebagai mitra kerja PT Inhutani selaku pemegang izin HPH, PT GAL justru menyambut baik keluarnya lahan 560 hektar tersebut dari RKT.

Ia mengaku kesulitan membuka lahan di lahan seluas 500 hektar dimaksud, karena penuh dengan bebatuan keras.

‘’Pada dasarnya kita bekerja setelah ada perjanjian, ada persetujuan masyarakat dan kerja sama dengan masyarakat. PT GAL sangat menghindari konflik dengan masyarakat, dan memilih penyelesaian kasus dengan musyawarah,’’ kata Yayat.

Jalannya musyawarah yang adem dan tenang ini mendapat apresiasi para anggota DPRD Nunukan.

Anggota DPRD Nunukan, Hendrawan mengatakan, ketika permasalahan dirembug dengan kepala dingin, dihadiri oleh para pengamil keputusan, hasilnya adalah sebuah mufakat yang sama sama bisa diterima kedua belah pihak.

‘’Prinsipnya kita bekerja dengan benar, agar tidurpun bisa tenang,’’ kata dia.

Para anggota DPRD Nunukan berpesan bagi setiap perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Nunukan agar melihat masyarakat adat sebagai bagian yang wajib menjadi perhatian.

Bagaimanapun hukum adat dan masyarakat adat, lebih dulu eksis ketimbang hukum positif.

‘’Semoga rapat dengan perusahaan yang nerimo, dan mengalah kepada masyarakat, bisa menjadi contoh perusahaan lain di Nunukan,’’ kata Mansur Rincing.

‘’Selama ini, konflik lahan dengan masyarakat tak pernah ada kata selesai. PT Inhutani bersama PT GAL menunjukkan sikap luar biasa, dimana seharusnya sebuah korporasi bisa membawa sejahtera dan penghidupan masyarakat sekitar,’’ katanya lagi.