NUNUKAN, infoSTI – Demonstrasi Masyarakat Hukum Adat (MHA) Dayak Agabang di Kecamatan Tulin Onsoi, Nunukan, Kalimantan Utara ke perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Karangjuang Hijau Lestari (KHL), yang dilakukan Senin, 26 Mei 2025 lalu, berujung pada pemblokiran lahan.
MHA Agabag memasang patok peringatan bahwa areal yang diblokir merupakan lahan masyarakat adat, setelah PT KHL dinilai lambat merespon tuntutan mereka.
Head SSL (Sustainability and Social License) PT KHL, Nanang Harijono menyesalkan tindakan tersebut.
Ia menyebut, areal kiri kanan jalan propinsi di wilayah Tulin Onsoi yang di minta untuk dilepaskan, merupakan areal kemitraan dan areal HGU inti perusahaan yang telah ada kesepakatan dan perjanjian yang jelas antara Perusahaan dan masyarakat sebelum di lakukan penanaman.
Bahkan sampai saat ini, masih terdapat tanaman Perusahaan di atasnya.
‘’Jika ada permintaan untuk pelepasan, seharusnya dapat mengikuti ketentuan dan prosedur yang berlaku tanpa adanya tindakan tindakan sepihak, seperti pemasangan patok yang dapat mengakibatkan timbulnya persoalan hukum lain,’’ ujarnya menjawab tuntutan MHA Dayak Agabag, melalui surat tertulis, tertanggal 4 Juni 2025.
Nanang menegaskan, segala bentuk perjanjian yang telah ada antara PT KHL dan masyarakat, berlaku sesuai jangka waktu yang tertera dalam perjanjian dan sesuai aturan, sehingga tidak dapat dilakukan pembahasan kembali untuk merubah perjanjian.
‘’Kecuali setelah selesai masa perjanjian, baru dapat dilakukan pembahasan kembali untuk masuk ke dalam suatu bentuk perjanjian yang baru,’’ kata dia.
Surat tanggapan PT KHL untuk Lembaga Dayak Agabag Sungai Tulin, Wilayah Tulin Onsoi, tersebut, sekaligus menjawab 14 poin tuntutan yang disampaikan MHA Dayak Agabag.
Diantaranya terkait persoalan program replanting yang masih terbatas kepada replanting areal plasma saja, demi memastikan kewajiban pembayaran kompensasi plasma dari perusahaan ke dcsa/masyarakat dapat tetap berjalan dengan sosialisasi yang sudah di lakukan sesuai prosedur, melalui pihak Koperasi Mukti Utama selaku perwakilan Masyarakat desa/ Masyarakat yang memiliki plasma.
Sebagaimana kesepakatan, pembagian plasma untuk masyarakat yang telah berjalan saat ini adalah 31 KK per desa untuk 19 Desa, di tambah kas desa I0 Ha per desa untuk 19 Desa, dan kas adat 10 Ha per adat untuk 2 lembaga adat di wilayah Kecamatan Sebuku dan Tulin Onsoi.
Itu diluar pembagian plasma untuk SP I, SP2 dan SP 3, sebagai masyarakat transmigrasi.
‘’Pembagian tersebut, berdasarkan kesepakatan bersama antara perusahaan dan pihak masyarakat yang di wakili desa dan koperasi di awal pembentukan plasma, dengan pertimbangan agar adil dan tidak terjadi kecemburuan sosial di antara Masyarakat terkait pola plasma yang sebenarnya adalah PIR (Perkebunan Inti Rakyat) Transmigrasi,’’ jelas Nanang.
Adapun pembagian kemitraan adalah 75:25, di mana karena pola yang dianut adalah kemitraan dan bukan pola plasma murni, maka pembagian hasil dari 25 persen yang merupakan hak masyarakat, dibayarkan oleh perusahaan dalam bentuk SHU ke rekening koperasi Tulin mandiri yang mewakili desa/ masyarakat untuk selanjutnya disalurkan oleh Koperasi Tulin Mandiri kepada masyarakat yang memiliki hak kemitraan.
Pembayaran plasma melalui Koperasi Mukti Utama dilakukan PT.Karang Juang Hijau Lestari, sementara pembayaran SHU kemitraan (pembagian hasil dari 25 persen) dilakukan PT. Tirta Madu Sawit Jaya.
‘’Perusahaan telah melakukan kewajiban pembayaran plasma secara global ke rekening Koperasi Mukti Utama tanpa adanya kekurangan. Jika ada persoalan ketidak adilan, ketidak merataan dan ketidak proporsionalan dalam pembagian sebagaimana yang disampaikan dalam demo, maka Perusahaan hanya dapat mengimbau pihak Koperasi, desa dan masyarakat, untuk dapat duduk bersama, menyelesaikan persoalan tersebut secara baik dalam lingkup internal,’’ kata Nanang.
Selain persolan plasma, tuntutan mengutamakan pekerja lokal juga menjadi atensi perusahaan, sesuai dengan alokasi kebutuhan dan skil yang dibutuhkan.
‘’Untuk masalah peningkatan program CSR, dapat menjadi perhatian perusahaan untuk ditingkatkan dalam pelaksanaan ke depan,’’ kata Nanang.
Sebelumnya diberitakan, Masyarakat Adat Dayak Agabag di Kecamatan Tulin Onsoi, Nunukan, Kalimantan Utara, melakukan demonstrasi ke perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Karang Juang Hijau Lestari (KHL), menuntut lahan adat yang masuk HGU perusahaan, Senin (26/5/2025).
Masyarakat adat tersebut, berasal dari 9 Desa, masing masing, Desa Kalunsayan, Sekikilan, Tembalang, Salang, Tinampak I, Tinampak II, Tau Baru, Balatikon, dan Naputi.
Aksi yang dipimpin Kepala Adat Besar Dayak Agabag Tulin Onsoi, Basuat bin Batulis, bersama dengan Wakil Kepala Adat Besar Tulin Onsoi, Sibrianus Sati ini, menyuarakan ketidakpuasan terhadap praktik perusahaan perkebunan yang dinilai mengabaikan hak-hak tradisional mereka.
‘’Akar masalah berasal dari tumpang tindihnya klaim HGU PT KHL yang secara sepihak mencaplok wilayah pemukiman, lahan garapan, dan bahkan areal pinggir jalan provinsi yang secara historis merupakan bagian integral dari wilayah adat Tulin Onsoi,’’ ujar Wakil Ketua Adat Besar Tulin Onsoi, Sibrianus Sati.
Ia menegaskan, nihilnya transparansi dalam proses penetapan HGU dan pengelolaan skema plasma, mengindikasikan adanya praktik yang mengabaikan prinsip keadilan agraria dan hak asasi manusia.
Akibatnya, dampak sosial-ekonomi dari konflik semacam ini sangat signifikan, pencaplokan wilayah adat, hingga meniadakan mata pencaharian masyarakat adat.
Disisi lain, lambannya respons atau keberpihakan terhadap kekuatan modal seringkali memperparah ketimpangan struktural, memaksa masyarakat untuk menggunakan jalan demonstrasi sebagai upaya terakhir untuk menarik perhatian publik dan tekanan politik.
“Kasus ini memerlukan intervensi serius dari pemerintah pusat dan daerah untuk memverifikasi ulang batas-batas HGU, mengevaluasi kembali skema plasma yang berjalan, dan secara fundamental mengakui serta melindungi hak-hak masyarakat adat Tulin Onsoi. Tanpa pengakuan resmi terhadap wilayah adat, posisi tawar masyarakat dalam negosiasi seringkali melemah”, tegas Sati.
Selain itu, masyarakat Adat Dayak Agabag juga menegaskan tuntutan mereka terhadap hak-hak agraria yang terampas oleh klaim Hak Guna Usaha (HGU) PT Karangjoang Hijau Lestari (KHL) serta persoalan kemitraan dan skema plasma dengan PT Tirta Madu Sawit Jaya.
‘’Pemerintah daerah dan pihak perusahaan diharapkan dapat segera merespons tuntutan masyarakat adat Tulin Onsoi secara konstruktif dan proporsional, demi mencegah eskalasi konflik yang lebih luas serta mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat,’’ kata Sati.
Dalam aksi demo ini, masyarakat adat Dayak Agabag Tulin Onsoi juga membacakan 14 point tuntutan. Yaitu,
- Perusahaan diwajibkan sosialisasi terkait replanting (penumbangan dan penanaman kembali pohon sawit).
- perusahaan wajib transparan atas luasan lahan dan hal terkait perizinan berusaha.
- Perusahaan wajib memenuhi 20 persen lahan plasma bagi masyarakat
- Perusahaan wajib sosialisasi perbedaan plasma 20 persen dengan lahan kemitraan, dimana saat ini tidak ada kejelasan dalam pelaksanaannya di lapangan.
- perusahaan diwajibkan melakukan pemenuhan pembayaran plasma 20 persen tidak pernah dilakukan PT Tirta Madu Sawit Jaya, selama ini yang membayar ke masyarakat PT KHL sementara yang beroperasi di wilayah Kecamatan Tulin Onsoi PT TMSJ.
- Baik rapat kemitraan maupun rapat rapat lain yang berkaitan dengan operasional perusahaan dan kepentingan masyarkat dilakukan di wilayah Kecamatan Tulin Onsoi.
- MHA tidak menerima keberadaan oknum yang selama ini selalu mengatasnamakan adat besar secara sepihak sehingga menimbulkan dampak merugikan hak hak masyarakat yang diambil oleh perusahaan perusahaan di wilayah Tulin Onsoi.
- perusahaan wajib menyelesaikan permasalahan pembagian uang plasma, dimana selama ini berjalan tidak adil. Tidak merata, tidak proporsional, diantara desa desa yang berada di Tulin Onsoi.
- Guna terserapnya tenaga kerja, perusahaan perlu meningkatkan kuota masyarakat lokal, diutamakan masyarakat Tulin Onsoi.
- pembahasan ulang terkait pembaharuan atas perjanjian antara perusahaan dan masyarakat mengingat perjanjian yang ada kurang relean saat ini.
- mengingat adanya peningkatan pertumbuhan penduduk dan banyak wilayah desa yang rawan banjir khususnya desa di bantaran sungai Tulin, perusahaan bersedia melepaskan/mengeluarkan dari peta kerja. Lahan 500 meter sepanjang jalan provinsi Trans Kaltara, dan 250 meter sepanjang jalan Pemda, dan MHA akan melakukan pemasangan patok di areal Jalan Provinsi dan areal kemitraan.
- Perusahaan wajib meningkatkan program CSR yang sampai hari ini tidak dirasakan oleh MHA Dayak Agabag.
- Pembentukan Koperasi Koperasi tingkat desa sebagai mitra, sehingga perusahaan tidak bermitra pada satu koperasi saja, sehingga program kemitraan dngan perusahaan dengan masyarakat bisa berjalan lebih obyektif dan tepat sasaran.
- Perusahaan berlaku tegas terhadap koperasi mitra jika melakukan penyimpangan atas kerjasama kemitraan sebagaimana perjanjian.
Kasus inipun menjadi perhatian Pemkab Nunukan. Bupati Nunukan, Irwan Sabri, mendatangi MHA Dayak Agabag, dan segera menjadwalkan mediasi untuk mencari solusi atas masalah yang tak pernah selesai ini.