NUNUKAN, infoSTI – Slogan ‘Garuda di dadaku, Malaysia di Perutku’ yang selama ini diteriakkan warga perbatasan RI – Malaysia di dataran tinggi Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara, merupakan realitas atas kondisi yang mereka alami sejak dahulu kala.
Sampai hari ini, lima Kecamatan Krayan masih terisolir.
Krayan, hanya bisa diakses dengan pesawat terbang perintis dari Ibu Kota Kabupaten Nunukan.
Jalanan yang hancur di saat musim hujan, menjadi lumpur setinggi 1 meter.
Ditambah dengan putusnya jembatan Fe’Bude, yang merupakan akses satu satunya sebagai penghubung antar kecamatan, menyetop aktifitas sosial ekonomi disana.
‘’Bisa dikatakan jalanan di Krayan bukan jalan untuk manusia, tapi jalan untuk kerbau. Bayangkan, lumpur jalan itu bisa lebih satu meter. Benar benar memilukan,’’ ujar Kasubid Rehabilitasi dan Rekontruksi pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Nunukan, Mulyadi, saat dihubungi, Kamis (6/3/2025).
Sudah hampir sebulan, petugas BPBD Nunukan, membangun jembatan darurat di Krayan.
Bersama masyarakat dan aparat di perbatasan, mereka melakukan penebangan pohon, menjadikannya balok kayu dan papan.
Kayu kayu yang akan digunakan sebagai bahan material jembatan, ditarik keluar hutan dengan kerbau dan sebagian ditarik beramai ramai.
Beberapa kayu yang cukup berat, diikat dengan bambu dan dihanyutkan di sungai, dalam proses pemindahan material.
Setelah keluar dari hutan, kayu kayu tersebut, dilansir dengan mobil ke lokasi pembangunan jembatan.
‘’Kami setiap hari harus mandi lumpur. Mata saja yang tidak berlumpur. Kami menginap di hutan karena harus terus berusaha mengeluarkan ban mobil yang tertanam lumpur,’’ tutur Mulyadi.
Beberapa kali harus tidur di hutan dengan beralas rumput, membuka obrolan betapa mirisnya kondisi masyarakat Krayan.
Secara garis besar, kata Mulyadi, ‘Garuda di dadaku dan Malaysia di perutku’, memang gambaran paling realistis untuk menceritakan keadaan Krayan.
Sampai hari ini, masyarakat Krayan memang hidup dengan barang barang kebutuhan yang didatangkan dari Malaysia.
‘’Masyarakat (Krayan) sedih, mengatakan kami orang Indonesia juga. Ingin juga diperhatikan seperti wilayah lain,’’ kata Mulyadi lagi.
Saat ini, BPBD Nunukan bersama aparat di perbatasan dan masyarakat, telah merampungkan pembangunan jembatan darurat Fe’Bude setelah berjibaku selama 12 hari.
Jembatan dengan panjang 47 meter dan lebar 3 meter ini, terbuat dari kayu khas Krayan, Kayu Blaban.
‘’Mungkin kami BPBD Nunukan mewakili Pemerintah Kabupaten menyelesaikan tugas pembangunan jembatan darurat. Tapi masalah utamanya sebenarnya kondisi jalan. Kita sudah bahasakan masalah ini sama provinsi. Semoga segera ada tindak lanjut,’’ kata Mulyadi.

Harga barang tetap tinggi
Terpisah, Camat Krayan Selatan, Oktafianus Ramli mengatakan, jembatan darurat Fe’Bude, sudah bisa dilintasi sepeda motor.
Masyarakat akan menambah material kayu di bawah jembatan untuk memastikannya sanggup menahan beban berat yang dimuat mobil mobil gardan ganda di Krayan.
‘’Jadi nanti masih akan ditambah bagian bawah jembatan. Kesepakatan saya dengan para kepala desa disini, mobil baru boleh lewat jembatan tanggal 10 nanti,’’ kata Okta, saat dihubungi.
Jembatan Fe’Bude, memang akses vital bagi masyarakat. Jembatan tersebut, satu satunya jalan penghubung antar kecamatan.
‘’Setidaknya akses sudah terhubung. Anak anak sekolah tidak lagi harus meniti balok kayu untuk menyeberangi sungai. Masalah utamanya adalah jalanan kami yang tidak bisa dilewati,’’ kata dia.
Kendati demikian, aktifnya jembatan Fe’Bude, belum bisa menurunkan harga harga Sembako dan Bapokting di Krayan Selatan.
Saat ini, harga Sembako masih tinggi. Gula pasir dijual dengan harga Rp 28.000/Kg dari harga sebelumnya, Rp 20.000/Kg.
Bensin, dijual Rp 30.000/liter dari harga Rp 17.000/liter.
LPG yang tadinya bisa diperoleh dengan harga Rp 400.000/tabung, kini harus dibeli dengan Rp 900.000/tabung.
Yang terparah adalah harga semen. Kalau dalam kondisi normal per zak bisa dibeli Rp 300.000, kini harganya mencapai Rp 1 juta/zak.
‘’Jadi kami di Selatan (Kecamatan Krayan Selatan), harus beli bahan bahan itu ke Long Bawan, Krayan induk. Kita bayar supir untuk membawanya ke selatan. Supir akan bayar orang untuk upah angkut. Barang barang itu dipikul atau dipanggul, karena kondisi jalan yang sulit. Makanya harganya melejit begitu,’’ jelas Oktafianus.
‘’Kami terus berharap Pemerintah segera mengatasi persoalan jalan kami,’’ kata dia.