oleh

Protes MHA Tidung di Nunukan ke PT MIP : Kami Sakit Sakitan Akibat Menghirup Debu Batu Bara, Sungai Longsor Menghilangkan Mata Pencaharian

NUNUKAN, infoSTI – Komunitas Suku Tidung di Nunukan, Kalimantan Utara, mengadu ke DPRD Nunukan, mengeluhkan imbas penambangan batu bara oleh PT Mandiri Inti Perkasa (MIP) di tiga desa pedalaman Nunukan.

Masing masing Desa Pelaju, Desa Tagul dan Desa Lubakan, Kecamatan Sembakung.

Para Tetua Adat Tidung dan Kepala Desa, satu suara, memprotes imbas penambangan PT MIP yang membuat tertutupnya sungai dan menghilangkan mata pencaharian masyarakat Suku Tidung.

‘’Ada tiga sungai yang longsor. Itu menutup mata pencaharian kami sejak 2024. Perusahaan berdalih sudah mengerjakan normalisasi, sedangkan faktanya, sampai hari ini sama sekali belum tersentuh,’’ ujar salah satu juru bicara adat Tidung, Rudi Hartono, dalam Rapat Dengar Pendapat, di Gedung DPRD Nunukan, Senin (6/10/2025).

Rudi mengingatkan, PT MIP seharusnya bertanggung jawab penuh karena sudah mengeruk hasil bumi di tanah adat.

Sampai hari ini, masih banyak lubang lubang bekas galian tambang oleh PT MIP masih menganga dan belum ditutup.

‘’Kalian kaya raya karena hasil bumi tanah kami. Jangan bunuh masyarakat perlahan,’’ kata dia.

Wakil Ketua Adat Besar Suku Tidung Kabupaten Nunukan, Abdul Kadir menuturkan, penambangan batu bara di pedalaman Sembakung, mengakibatkan kualitas udara tercemar.

‘’Di meja depan rumah saya di Desa Pelaju itu, kalau dilap hitam itu lapnya. Kalau kita berjalan di lantai tanpa alas kaki, hitam kaki. Saya sakit sakitan setiap kali masuk dan tinggal disana, dan saat ini saya tinggal di Nunukan,’’ akunya.

Mungkin, kata Abdul Kadir, orang bisa menganggap dirinya batuk dan sakit sakitan karena telah berusia lebih 70 tahun. Namun jika melihat sejumlah pendatang yang ikut batuk dan sakit sakitan hingga meninggal, anggapan tersebut takkan pernah ada.

‘’Pencemaran udara di Desa Pelaju sangat dahsyat. Sakit semua masyarakat dibuatnya. Perusahaan ini sebenarnya harus tutup. Mereka tak pernah kasih uang berobat dan tidak mensejahterakan masyarakat, justru menutup sungai yang menjadi urat nadi penghidupan warga,’’ tegasnya.

PT MIP dituntut Rp 5 miliar

Atas efek yang terjadi di tengah Masyarakat Hukum Adat Tidung Sembakung, mereka menuntut PT MIP untuk membayar ganti rugi Rp 5 miliar.

Angka tersebut, untuk kerugian banyaknya pohon dengan nilai ekonomi tinggi yang tumbang, habitat buruan yang hilang, daun daunan obat yang musnah, hingga longsornya sungai diduga akibat aktifitas penambangan PT MIP.

‘’Sungai itu sumber kehidupan MHA Tidung. Tempat kami menjala ikan, menjadi jalur transportasi memanen madu, dan mencari ramuan obat. Selain terkubur longsor, ada juga kayu kayu menjadi pagar di tengah sungai sana,’’ tegasnya.

Jika melihat kondisi MHA Tidung di Desa Pelaju, Tagul dan Lubakan, kemudian membandingkan dengan pekerja PT MIP, bagaikan langit dan bumi perbedaannya.

‘’Demikian banyak jenis mobil bermerk datang dan pergi, sementara warga kami masih jalan kaki dan mendayung sampan. Mereka menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi, kami kesulitan akses pendidikan. Padahal yang membuat mereka kaya adalah tanah kami,’’ lanjutnya.

Jawaban GM PT MIP

General Manager PT MIP Robert Boro menjelaskan, perusahaan sudah menerima surat berisi tuntutan masyarakat.

Hanya saja, pihak perusahaan ingin penjelasan detail, angka tersebut bagaimana hitung hitungannya.

‘’Dan apakah sudah ada penelitian yang memastikan longsoran itu akibat penambangan. Karena menurut kami, itu kondisi alam,’’ jelasnya.

PT MIP sudah melakukan penambangan sejak 2004, dengan mengantongi legalitas dan Amdal.

Terkait mengapa belum ada tindakan perusahaan untuk normalisasi sungai, Robert menjelaskan, belum adanya penetapan batas resmi antara Kabupaten Tana Tidung dan Kabupaten Nunukan, menjadi alasan perusahaan.

‘’Belum ada batas yang disepakati kedua Kabupaten, Nunukan, KTT. Ada daerah over lap, dan kami selalu bantu untuk menyelesaikan di tingkat Provinsi dan Pusat, sampai sekarang belum ada hasil. Katanya sudah ada di meja Mendagri, tapi belum di tandatngani. Mungkin akibat kasus Sumut vs Aceh kemarin, jadi lebih hati hati,’’ urainya.

Sejauh ini, PT MIP selalu merangkul masyarakat sekitar dengan program Community Development. Mereka memberikan pembiayaan untuk mandiri dan masyarakat banyak yang berhasil secara ekonomi.

‘’Untuk kayu kayu yang terpasang di sungai, itu bukan untuk memagari sungai atau membatasi nelayan. Itu semacam dinding untuk mencegah dorongan tambang tak sampai hilir, dan itu bagian dari rekomendasi DLH Provinsi Kaltara, setelah melakukan peninjauan,’’ kata Robert.

Solusi DPRD Nunukan

Ketua Komisi 3 DPRD Nunukan, Rian Antoni yang memimpin rapat mementahkan alasan PT MIP.

Apapun bentuknya, segala jenis penambangan SDA, sudah pasti menyebabkan penurunan kualitas lingkungan hidup.

‘’Menyoal batas antara Nunukan dan KTT memang masih digodok. Tapi bukan berarti kita bisa abai. Ini masalah kehidupan, masalah perut. Kalau hanya masalah batas lalu membiarkan warga adat tak bisa beraktifitas, ini tak manusiawi,’’ kata Rian.

Masyarakat tak mungkin menunggu selesainya persoalan batas wilayah karena mereka perlu mencari makan tiap hari. Apalagi, kata Rian, administrasi di Negara Konoha ini, sangat kompleks.

Sehingga, kembali pada hati kita, apakah mau objektif atau mencari dalil untuk lepas dari kewajiban perusahaan.

‘’Jangan jadikan banyaknya rekruitmen masyarakat oleh PT MIP dijadikan dalil mengabaikan kerusakan yang terjadi. Ada MHA yang sangat bergantung dengan lingkungan sekitar, dan mereka memang sangat kurang sekali advokasi terkait kepentingan norma hukum adat,’’ katanya.

Rian meminta PT MIP tak saklek menghitung masalah selalu lewat perspektif hukum formal, tapi mengabaikan hukum adat yang benar benar hidup dan menjadi landasan hidup masyarakat adat.

Masih sangat terbuka jalan untuk negosiasi dengan MHA Adat, dan tentunya DPRD Nunukan juga akan terus memantau kasus ini, bahkan bisa sampai level Pansus.

‘’Tapi kita turun lapangan dulu untuk melihat langsung masalah ini. Kita tawarkan perusahaan apakah mau penyelesaian Bipartit, atau sampai Pansus. Tapi sekali lagi, DPRD Nunukan tak mampu menjamin ada tindakan masyarakat adat diluar kewenangan kami,’’ kata Rian.