NUNUKAN, infoSTI – Pemberian bantuan pelampung pabrikan asal Pulau Jawa dari Pemda Nunukan, Kalimantan Utara, kepada para pembudi daya rumput laut Nunukan, menuai polemik di kalangan pembuat pelampung rumahan.
‘’Pengadaan pelampung yang didatangkan dari Pulau Jawa, membunuh pelampung buatan UMKM Nunukan,’’ujar Andi Masrur, salah satu pengelola Bank Sampah di Kampung Rumput Laut, Mamolo, Nunukan Selatan, melalui sambungan telfon, Selasa (24/12/2024).
Selama ini, kata dia, Pemda Nunukan selalu meminta Bank Sampah di Mamolo untuk terus membantu mengurai sampah plastik, dengan recycle/menjadikan produk bernilai rupiah, salah satunya pelampung.
Andi Maskur mengatakan, sebagai UMKM, seharusnya Pemda Nunukan, khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP), mengutamakan produk local, dan menjadikannya hidup. Ketimbang, mendatangkan pelampung dari Pulau Jawa.
‘’Ini kan membunuh kami pengusaha pelampung rumahan. Kita diminta memproduksi sampah plastik menjadi produk ramah lingkungan. Tapi begitu ada proyek pengadaan, kami ditinggalkan. Ini kan membunuh usaha kami selaku pengusaha rumahan ini,’’ sesalnya.
Bank Sampah di Mamolo, kata Andi Maskur, memiliki tiga mesin pengolah pelampung. Dimana masing masing mesin, bisa memproduksi 300 buah pelampung.
Andi Maskur menegaskan, jika DKP Nunukan memesan jauh jauh hari, bukan tidak mungkin, Bank Sampah Mamolo, mampu menyanggupinya, berapapun jumlahnya.
‘’Ini ada proyek DAK dengan nilai miliaran, tapi UMKM tidak diperhatikan. Semangat kami down, malas sudah produksi, yang tentunya berimbas pada pembelian sampah yang dijual masyarakat ke kami,’’ kata dia.
Untuk diketahui, Pemerintah Daerah Nunukan melalui DKP, menerima proyek pengadaan pelampung yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK), sebesar Rp 2,6 miliar, untuk pengadaan pelampung sebanyak 147.987 buah. Yang akan dibagikan untuk 48 Kelompok Budidaya Rumput Laut (KBRL).
Pemda Nunukan juga mengalokasikan APBD sebesar Rp 600 juta untuk bantuan 37.103 pelampung bagi 17 KBRL.
Kepala Dinas DKP Nunukan, Suhadi, menegaskan, Pemda Nunukan, selama ini terus berupaya membina para UMKM, khususnya pencetak pelampung.
Hanya saja, perlu diketahui, ada ketentuan ketat mengenai spesifikasi pelampung yang dialokasikan.
‘’Namanya proyek APBN, tentu kualitasnya ditentukan seperti apa, ketahanannya sampai kapan, apakah produknya lolos uji, mulai komposisi dan mutunya. Kalau tidak sesuai, kami yang dijerat pidana,’’ ujar Suhadi, ditemui di kantornya.
Suhadi meminta para pengelola Bank Sampah memahami, ada standar baku yang tidak dapat diubah, ketika menyangkut proyek APBN.
Kendati demikian, DKP sama sekali tidak melupakan UMKM. Terbukti dengan gelontoran APBD dengan nilai total Rp 600 juta, lebih Rp 300 juta, dipergunakan untuk pembelian pelampung produk lokal.
‘’Kalau kami dikatakan membunuh UMKM lokal, tidak benar itu. Silahkan nilai sendiri, para pengusaha yang baru merintis membuat pelampung, sudah menerima pesanan ratusan juta. Bukan jumlah yang sedikit itu,’’ tegasnya.
Untuk diketahui bersama, kata Suhadi, mutu dan kualitas pelampung pabrikan yang disaratkan di proyek APBN, haruslah berbahan HDPE, dengan ketebalan yang sudah diatur, termasuk daya tahannya.
Dipesan dari pabrik yang terverifikasi, juga hasil produk yang digunakan haruslah mengantongi sertifikasi lolos uji kelayakan dari Kementrian KKP.
‘’Mohon ini difahami. DKP sama sekali tidak meninggalkan apalagi membunuh UMKM lokal. Kami membeli produk mereka dengan APBD,’’ tegasnya.
Jika berbicara perbandingan, kata Suhadi, produk pelampung pabrikan, memiliki ketebalan dan ketahanan sampai 5 tahun.
Berbeda dengan pelampung produk Mamolo yang daya tahannya hanya sekitar setahun.
Pengadaan pelampung juga harus menganut konsep energy biru, sehingga ketika pelampung tersebut rusak, bisa didaur ulang kembali, tanpa meninggalkan residu, atau tumpukan sampah yang mencemari lautan.
Pelampung pabrikan dihargai Rp 20.000, dengan perbandingan satu pelampung sama dengan 40 botol bekas air mineral ukuran 1 liter, yang selama ini digunakan masyarakat. Dan memiliki ketahanan hingga 5 tahun.
Sedangkan pelampung produk lokal, dihargai Rp 7000, dengan perbandingan 1 : 10 botol mineral. Dengan ketahanan 1 tahun.
‘’Jadi kualitas pelampung pabrikan dan lamanya waktu pemakaian, bisa menekan residu sampah plastic botol bekas, yang selama ini dihasilkan dari bekas panen rumput laut dan mencemari laut,’’ jelasnya.
‘’Untuk itu, kita masih terus melakukan pembinaan kepada Bank Sampah, agar bisa mengejar kualitas sebagaimana standar proyek APBN,’’ kata Suhadi.