NUNUKAN, infoSTI – Kapolres Nunukan, Kalimantan Utara, AKBP Bonifasius Rumbewas, sengaja menunggu kepulangan anak anak TKI yang bersekolah di SDN 005 Sebatik Tengah, untuk mengantarkan mereka pulang sekolah sampai di patok C di Desa Sei Limau, Pulau Sebatik, menuju Kampung Bergosong, Tawau, Malaysia, Rabu (2/10/2024).
Anak anak TKI yang bekerja sebagai buruh kelapa sawit Malaysia ini, setiap harinya harus menempuh jarak sekitar 20 km, pulang pergi ke sekolah, dengan sejumlah tantangan.
Baik akses yang akan sulit dilewati saat hujan, stamina yang terkuras karena berjalan kaki sejak subuh menuju sekolah dan banyaknya ular berbisa di kawasan perkebunan kelapa sawit.
‘’Menjadi keprihatinan kita semua atas kondisi generasi kita terhadap akses pendidikan. Mereka dalam sehari harus menempuh jarak sekitar 20 km pulang pergi sekolah, dan sering menerobos hujan, asal bisa sekolah,’’ ujar Bonifasius, ditemui, Kamis (3/10/2024).
Boni merasakan sendiri, jalanan berbatu yang terjal dan jalanan setapak yang saban harinya dilewati puluhan anak TKI yang tinggal di Bergosong.
Nafas memburu dan baju yang basah oleh keringat, menjadi bukti bahwa jalan yang ditempuh memang menjadi tantangan berat bagi anak anak usia SD.
Padahal, jarak dari sekolah menuju patok perbatasan yang memisahkan kawasan RI – Malaysia, belum separuhnya dari perjalanan anak anak TKI dimaksud.
‘’Dan kita mendapati masih ada banyak WNI kita belum punya data kependudukan. Itu berakibat anak anak mereka sulit sekolah, dan ini menjadi konsen kami,’’ kata dia.
Fakta lain yang menjadi catatan Polres Nunukan, terdapat puluhan anak anak TKI di areal perusahaan Heng Ann, diduga tidak bisa bersekolah karena masalah administrasi kependudukan.
Meski pihak Konsulat RI mendirikan sekolah Community Learning Center (CLC), di Wallace Bay, Tawau, akan tetapi, lokasi tersebut sangat jauh. Bahkan bisa dikatakan lima kali lipat dari jarak Bergosong ke Sei Limau Sebatik.
‘’Untuk itu, Polres Nunukan akan segera berkoordinasi dengan Disdukcapil Nunukan, menjalin kemitraan dengan Konsulat RI di Tawau, agar persoalan Adminduk WNI kita di batas Negara bisa terakomodir. Setidaknya, ada upaya untuk kita agar akses pendidikan generasi kita lebih mudah, dan mereka mendapat hak yang sama sebagai WNI,’’ tegas Boni.
Banyak TKI enggan didata
Kondisi banyaknya anak tidak sekolah di kawasan perusahaan Heng Ann, Tawau, juga dituturkan oleh Ketua RT 12 Desa Sungai Limau, Dusun Berjoko, Sudirman.
Ada sekitar 30an KK di areal perkebunan Heng Ann, dan hampir semua anak anak usia sekolah, membantu orang tuanya kerja di perkebunan demi mendapat gaji lebih besar.
‘’Saya masuk ke Heng Ann, dan memang anak anak disana lahir tanpa ada akte. Orang tuanya fokus kerja cari uang. Tinggal jauh di pedalaman dan tengah perkebunan di tengah hutan, membuat para TKI kita tidak memandang penting urusan dokumen kependudukan,’’ tutur Sudirman.
Sudirman juga membenarkan meski KRI Tawau telah memberikan fasilitas sekolah/CLC di Wallace Bay, akan tetapi, jarak tempuh yang sangat jauh, membuat anak anak TKI yang bekerja di perusahaan perkebunan Heng Ann, tak memiliki keinginan untuk sekolah.
Kondisi kebalikan, terjadi bagi para TKI yang bekerja di perusahaan perkebunan lain, yang dikenal masyarakat perbatasan sebagai perusahaan 900.
Karena jaraknya yang dekat dengan CLC, anak anak TKI disana, semuanya mengenyam pendidikan layak.
‘’Ada banyak perusahaan di sana, salah satunya perusahaan 900 yang dekat saja jaraknya dengan CLC. Anak anak TKI kita yang kerja di perusahaan 900, sekolah semua. Kalau Heng Ann, itu macam terputus aksesnya, dan jauh sekali jarak tempuhnya. Itulah yang buat anak anak TKI disana tidak sekolah,’’ tegasnya.
Permasalahan adminduk TKI di sejumlah perusahaan perkebunan Malaysia, diakui menjadi masalah pelik yang harus ditangani semua pihak.
Sekretaris Desa Sei Limau, Markarman menjelaskan, banyak kasus dimana perusahaan Malaysia, biasanya akan menahan identitas WNI saat bekerja.
‘’Begitu mereka tidak betah atau ada masalah kerjaan, memilih pindah kerja misalnya, KTP, paspor, tidak dikembalikan. Akibatnya data mereka hilang, apalagi yang sudah puluhan tahun disana. Bahkan banyak anak anak lahir tanpa akte juga,’’ tuturnya.
Pihak Desa sudah berkali kali berupaya mendata para TKI dan berniat membuatkan KTP. Kendalanya, para TKI tidak memandang penting kepemilikan KTP, karena mereka tinggal di tengah hutan, dan jarang yang datang memenuhi undangan pihak desa.
Ia mencontohkan, dari 100 KK di Kampung Bergosong, tidak sampai 50 persen yang telah memiliki KTP.
‘’Ketika kita membuat dokumen kependudukan, dasarnya harus jelas. Entah itu paspor, atau identitas lain. Tapi kalau mereka tidak hadir, kita bisa apa, tidak mungkin kita melanggar batas Negara,’’ keluhnya.
Pesantren hasil donasi para TKI
Cerita perjuangan anak anak TKI Malaysia yang bersekolah di perbatasan RI – Malaysia di Dusun Berjoko, Desa Sei Limau, Pulau Sebatik, membawa keprihatinan bagi warga perbatasan.
Kepala Dusun Berjoko, Yosep Simon juga mengeluhkan belum adanya kontribusi pemerintah atas kondisi yang terjadi.
‘’Anak anak TKI kita di Bergosong ini kan sudah bertahun tahun. Sudah ada yang kuliah juga, digantikan dengan anak anak lain yang sekolah SD. Selama itu pula, kondisi ini terus terjadi,’’ kata Yosep.
Menurut Yosep, masyarakat sering membawa kondisi ini ke Musrenbang. Namun tidak ada tindak lanjut dari simpati mereka.
‘’Maunya tentu mereka diperhatikan. Bagaimanapun masih banyak di dalam sana (perkebunan Malaysia), yang belum ada identitas kependudukan. Banyak juga yang tidak sekolah. Semoga ini menjadi perhatian semua pihak,’’ harapnya.
Kisah anak anak TKI yang berjuang demi sekolah di perbatasan Negara, kerap menjadi materi dalam dakwah yang disampaikan salah satu tokoh masyarakat Dusun Berjoko, Ustad Makmur Makatutu.
Lulusan Universitas Hasanuddin, Makassar yang mendalami bidang Kriminologi ini, menjalin kerja sama dengan KRI Tawau, dan kerap berdakwah di mes mes TKI di areal perkebunan Malaysia.
‘’Begitu saya bawakan cerita anak anak kita yang berjuang ke sekolah dengan berjalan kaki menembus jalan setapak perkebunan, mereka banyak berdonasi. Dana tersebut, kita gunakan untuk membangun pesantren bagi anak anak TKI di Dusun Berjoko,’’ kata Makmur.
Pesantren yang diberi nama Darul Makmur, sementara ini masih tahap pembangunan, dan sudah 70 persen rampung.
Nantinya, anak anak TKI bisa menetap di asrama pesantren, bersekolah formal di pagi hari, dan mendalami agama pada sore hari.
‘’Semoga amanah para TKI kita di Malaysia bisa tertunaikan. Dan kita sebagai masyarakat perbatasan RI – Malaysia, setidaknya memiliki peran dalam mencerdaskan generasi bangsa,’’ harap Makmur.