oleh

Tiga Sungai di Sembakung Tercemar dan Longsor, DPRD Nunukan Minta PT MIP Tak Berkelit Dibalik Amdal

NUNUKAN, infoSTI – DPRD Nunukan, Kalimantan Utara, meminta PT MIP tak selalu menjadikan Amdal sebagai senjata dalam menjawab imbas pengeboran batu bara yang merusak lingkungan Masyarakat Adat Tidung di Kecamatan Sembakung.

Pernyataan tersebut, disuarakan Mansur Rincing, saat menjawab General Manager PT Mandiri Inti Perkasa (MIP), Robert Boro, pada RDP bersama Komunitas Adat Tidung, Senin (6/10/2025) lalu.

Robert menegaskan aktifitas mereka legal dan mengantongi Amdal, sehingga perusahaan meminta masyarakat adat membuktikan tuduhan pencemaran dan kerusakan lingkungan secara ilmiah sebelum menuntut PT MIP menjawab tuntutan mereka.

‘’Jangan selalu jadikan Amdal sebagai senjata untuk melawan tuntutan masyarakat. Amdal itu formalitas awal, sebaliknya, Amdal juga bisa jadi boomerang untuk perusahaan ketika ada indikasi pelanggaran,’’ ujarnya mengomentari kasus yang sedang menjadi materi tuntutan MHA Tidung.

Untuk diketahui, Dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) adalah dokumen yang mengkaji dampak besar dan penting suatu proyek terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan untuk pengambilan keputusan izin usaha di Indonesia.

Dokumen ini berisi empat bagian utama: Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). 

Mansur menegaskan, masyarakat yang merasa dirugikan dengan aktifitas penambangan, memiliki hak untuk melapor dan menuntut.

‘’Dan kami di DPRD ini adalah wasit. Kami perwakilan masyarakat yang tentunya akan mengawal kasus ini sampai selesai,’’ tegasnya.

Ada tiga masalah yang perlu digaris bawahi. Yang pertama adalah dugaan pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat penambangan batu bara.

Dan masalah kedua, terkait administrasi batas wilayah tambang yang berada di perbatasan antara Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Tana Tidung (KTT).

Masalah ketiga, DLH Provinsi Kaltara, hanya tahu kerusakan/pencemaran di Sungai Kerasi, dan tak memiliki data adanya longsor di Sungai Urad atau di Sungai Linuang Kayam.

‘’Jadi saran saya, DLH Provinsi libatkan DLH Nunukan, DPRD Nunukan. Bawa alat untuk memastikan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan,’’ kata dia.

Pada prinsipnya, meskipun dugaan pencemaran terjadi di daerah KTT, air sungai mengalir ke Nunukan.

Butuh penelitian mendalam, apakah sudah terjadi pendangkalan. Dan apa saja habitat sungai. Apakah ikan patin, udang galah dan lainnya, sebagai salah satu item yang perlu ganti rugi jika terbukti ada pencemaran.

DPRD juga butuh data berapa banyak batu bara yang ditambang dalam sebulan, dan seberapa besar goncangan yang terjadi, sampai penelitian kekeruhan air maupun kualitas udara.

‘’Kalau ditemukan adanya pelanggaran, maka perusahaan harus bertanggung jawab penuh. Kalau tidak, beri penjelasan detail kepada masyarakat, agar mereka faham apa yang terjadi,’’ jelasnya.

Mansur mengingatkan PT MIP agar tidak mengalihkan isu subtansial ke program Community Development yang merangkul masyarakat banyak.

‘’Ini substansinya adalah tuntutan masyarakat adat atas dugaan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Jangan berbicara diluar pokok persoalan dan menggiring kami dalam menilai secara obyektif,’’ tegasnya.

Mansur juga mengingatkan Komunitas Adat Tidung untuk terus berjuang mendapat keadilan.

‘’Jangan hanya sampai DPRD Nunukan perjuangannya, karena perusahaan biasa itu menjanjikan sesuatu tapi realisasinya tidak ada. Kami juga akan mengawal kasus ini,’’ kata dia.

Diberitakan, Komunitas Adat Tidung Sembakung, di Nunukan, Kalimantan Utara, memprotes adanya longsor yang menutup Sungai Kerasi, Sungai Urad dan Sungai Pasir, diduga akibat pengeboran batu bara oleh PT Mandiri Inti Perkada (MIP).

Peristiwa yang terjadi di Desa Pelaju, Tagul dan Lubakan tersebut, dianggap menghilangkan mata pencaharian masyarakat, dan membunuh mereka perlahan sejak 2024.

Atas efek yang terjadi di tengah Masyarakat Hukum Adat Tidung Sembakung, mereka menuntut PT MIP untuk membayar ganti rugi Rp 5 miliar.

Angka tersebut, untuk kerugian banyaknya pohon dengan nilai ekonomi tinggi yang tumbang, habitat buruan yang hilang, daun daunan obat yang musnah, hingga longsornya sungai diduga akibat aktifitas penambangan PT MIP yang menghilangkan mata pencaharian masyarakat.