oleh

Kisah Perjuangan Penjual Pentol Rebus di Nunukan Menjadi Prajurit Marinir, Selalu Berlari 3 Km Pulang Sekolah, 3 Kali Gagal Seleksi

NUNUKAN, infoSTI – Sebuah perjuangan panjang demi menggapai cita cita sebagai prajurit TNI AL, tergambar dari perjalanan Angga Khoirul Anam (20), pemuda penjual pentol rebus di Nunukan, Kalimantan Utara.

Angga, merupakan pemuda dari Kampung Sendang Asri, Kecamatan Sendang Agung, Lampung Tengah, Bandar Lampung.

Namanya masuk dalam korp Marinir, dan mengikuti pembaretan pada 16 September 2025, di Kota Surabaya.

Sulitnya kehidupannya di kampung, membuat keluarganya pindah ke Nunukan, dan berjualan pentol untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

‘’Angga ke Nunukan saat ia masih duduk di bangku kelas 11 SMA. Ia melanjutkan sekolahnya di SMAN 2 Nunukan Selatan,’’ ujar paman Angga, Sutriono, dikonfirmasi, Sabtu (20/9/2025).

Tekat Angga menjadi TNI AL, menjadi alasan mengapa keluarganya memutuskan pindah ke Nunukan, dan ikut Sutriono, yang merupakan prajurit Pangkalan TNI AL (LANAL) Nunukan.

Selain fokus tugas keprajuritan, Sutriono juga membuka usaha pentol rebus.

Peluang tersebut, menjadi kesempatan Angga untuk ikut pamannya, sekaligus mempelajari kehidupan nyata prajurit TNI AL, karena sejak kecil, ia memiliki keinginan kuat menjadi TNI AL.

‘’Dari sisi kemauan dan tekat, saya akui Angga punya modal sangat kuat. Keinginannya menjadi TNI AL tidak goyah sejak kecil,’’ tuturnya.

Semangat tersebut, bahkan Angga tunjukkan sejak ia pindah dan bersekolah di SMAN 2 Nunukan Selatan.

Setiap pulang sekolah, Angga memasukkan seragamnya ke dalam tas ransel, dan memilih berlari menempuh jarak 3 km menuju rumahnya, di asrama LANAL Nunukan.

Tak hanya itu, Angga menyiapkan keuangan sendiri, dengan ikut berjualan pentol.

Angga menabung sedikit demi sedikit dari penghasilan berjualan pentol di pinggir jalan, untuk kebutuhan pribadinya.

Ia sadar, perjalanan menjadi TNI AL, tentu tidak mudah. Angga sempat gagal pada tes pertama, ia gugur di tes kesehatan.

Penguji menyatakan kondisi gigi Angga terlalu renggang. Iapun semakin rajin berjualan pentol untuk memasang kawat behel gigi.

Tahun berikutnya, Angga kembali mendaftar Casis TNI AL, dan kembali gugur di tes psikology.

‘’Salah satu manfaat saya mengajaknya tinggal di asrama TNI AL, adalah penempaan mental dan kedisiplinan. Saat ia jatuh di tes pertama, para pembimbingnya di Mess LANAL Nunukan memberikan motivasi dan dukungan moral. Begitu juga saat tak lolos di tes kedua. Prajurit harus punya mental pantang menyerah dan membuktikan kemampuan serta tekatnya,’’ kata Sutriono.

Sosok Angga, diakui Sutriono, sebagai profil mandiri dan penuh semangat.

Semua pembiayaan yang dibutuhkan untuk ongkos ke Kota Tarakan, ke Surabaya, semua hasil kerja keras Angga dari berjualan pentol rebus.

Termasuk memasang kawat behel gigi sekitar Rp 3 juta, dan suntik varises untuk menjalani seleksi prajurit TNI AL.

‘’Kalau pendaftaran TNI AL, seratus persen gratis. Yang perlu disiapkan biaya transportasi dan biaya biaya untuk kebutuhan sendiri tok,’’ tegasnya.

Semangat, disiplin, ketekunan dan kegigihan Angga, layak diacungi jempol.

Di saat anak anak muda seusianya masih memikirkan gengsi untuk usaha mandiri, seperti berjualan pentol rebus di pinggir jalan, Angga menjadi salah satu pemuda yang tak memikirkan gengsi.

Saat pemuda lain masih tidur nyenyak menikmati hari, Angga sudah berkeringat karena berlari untuk mempersiapkan fisiknya menjadi prajurit TNI.

Kondisi keluarganya, memperkuat tekatnya untuk mengangkat derajat keluarganya.

‘’Perjuangan itu akhirnya membuahkan hasil. Angga mengikuti pembaretan Marinir di Surabaya. Sekarang dia sudah menjadi Sersan Dua Marinir. Semoga semangat dan perjuangan Angga memotivasi anak anak muda Nunukan lainnya,’’ kata Sutriono.

Di saat prajurit lain lolos dengan disaksikan keluarga mereka lengkap, Angga harus menahan sesak di dada, karena yang hadir hanya ibunya.

Biaya, menjadi alasan mengapa keluarga lengkapnya tak bisa hadir ke Surabaya, menyaksikan dirinya menjadi prajurit.

Namun, Angga justru sadar, kini dirinya bukan lagi hanya milik keluarganya, tapi sudah menjadi milik Negara.

Tidak ada tempat untuk berbuat cengeng dan emosional di diri prajurit. Ia harus selalu siap menyambut panggilan Ibu Pertiwi kapanpun dibutuhkan.

‘’Satu yang paling saya ingat dari ucapan keponakan saya itu (Angga), ‘Saya akan terus berusaha, sampai kesempatan menjadi TNI AL habis’,’’ kata Sutriono.