NUNUKAN, infoSTI – Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Lapas Nunukan, Kalimantan Utara, memproduksi batik tulis khas Nunukan, Lulantatibu.
Tak hanya laku di daerah, batik yang menjadi symbol persatuan suku asli di perbatasan RI – Malaysia ini, bahkan sudah go internasional.
‘’Lulantatibu karya WBP Lapas Nunukan sudah go internasional,’’ ujar Kepala Seksi Bimbingan Narapidana dan Anak Didik (Binadik) Lapas Nunukan, Nidal, ditemui Sabtu (17/5/2025).
Para WBP pengrajin batik, biasanya akan menunggu order/pesanan dari peminat batik tulis Lulantatibu.
Mereka akan membuat corak batik yang khas dan unik, dimana satu pakaian, biasanya diselesaikan dalam jangka waktu satu minggu.
Harga Batik Lulantatibu, masih tergolong tinggi. Biasanya, satu lembar pakaian dihargai Rp 650.000 sampai Rp 900.000, tergantung bahan, model dan kesulitan dalam menggambar motifnya.
‘’Sudah banyak yang pesan dari Malaysia. Batik Lulantatibu juga menjadi souvenir khas Nunukan ketika ada tamu datang. Bahkan dari Pusat juga pernah memesan sekitar 40 pcs,’’ imbuhnya.
Untuk diketahui, batik Lulantatibu memiliki corak dengan filosofi dan ciri khas suku asli Nunukan. Masing masing, Dayak Lundayeh, Tagalan, Taghol, dan Tidung Bulungan.
Dayak Lundayeh yang menempati wilayah bagian utara Kabupaten Nunukan memiliki corak khas gambar tempayan yang dalam bahasa setempat dinamai arit tabuk.
Filosofi dari arit tabuk adalah melindungi. Tempayan sendiri dalam kehidupan suku Dayak Lundayeh selain digunakan sebagai tempat menyimpan bahan makanan dan harta benda, juga merupakan alat untuk menyimpan jasad manusia.
Sehingga tidak heran jika dalam berbagai kerajinan tangan suku Dayak Lundayeh, akan terdapat goresan perpaduan garis lurus dan lengkung sebagai simbol arit tabuk.
Sementara dari Suku Dayak Taghol yang mendiami wilayah Kecamatan Lumbis, corak yang digambarkan dengan perpaduan 4 garis membentuk tameng sangat dominan.
Tameng bagi Suku Dayak Taghol memiliki arti perlindungan. Simbol tameng bagi suku Dayak Taghol juga berarti ketahanan.
Meski semua Suku Dayak di Kabupaten Nunukan memiliki goresan tameng, namun tameng suku Dayak Taghol memiliki corak yang sangat kuat.
Sementara dari Suku Dayak Tagalan, diambil goresan perpaduan 4 buah lengkung yang disebut pinduku.
Arti kata pinduku dalam bahasa Suku Dayak Tagalan merupakan persatuan. Corak pinduku selain terdiri dari 4 garis lengkung juga terdapat lingkaran di sekeliling garis lengkung serta aksen titik-titik kecil.
Dari Suku Dayak Tidung Bulungan corak yang diambil sebagai motif batik lulantatibu berupa goresan bunga raya.
Bunga raya mengandung filosofi kemakmuran. Bunga raya dalam keseharian Suku Dayak Tidung Bulungan juga difungsikan sebagai obat yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit.
Filosofi Bhineka Tunggal Ika yang menjadi falsafah NKRI, selalu dijunjung tinggi dalam setiap corak yang terlukis pada batik Lulantatibu.
‘’Selain batik tulis, WBP juga membuka usaha sablon. Bagi yang berminat silahkan pesan, nanti desain barang akan dibuat sesuai order,’’ imbuhnya.
UMKM Lapas Nunukan jadi perhatian DPR RI

Potensi UMKM di Lapas Nunukan inipun kemudian menjadi perhatian khusus Anggota DPR RI, Rahmawati Zainal.
Jika dari dalam penjara saja mereka bisa berdaya dan mampu berbicara banyak dengan karya yang mulai dikenal mancanegara, maka dukungan atas UMKM khususnya di dalam Lapas, menjadi wajib dilakukan.
Iapun memprogramkan pelatihan sejumlah usaha mandiri tambahan, dengan harapan para WBP bisa langsung terjun ke masyarakat dengan bekal dan keterampilan yang mereka miliki.
‘’Kita upayakan melatih keterampilan para WBP dalam urusan UMKM. Mulai membuat penganan, kerajinan manik manik, bercocok tanam yang baik, hingga salon kecantikan,’’ ujar politisi Gerindera ini.
Dengan bekal keterampilan yang diajarkan oleh para ahli di bidangnya masing masing, para WBP tak perlu bingung mencari pekerjaan saat bebas nanti.
Mereka tinggal mempraktekkan ilmu yang mereka peroleh dalam penjara.
‘’Sementara mereka bisa memulai menjajakan bisnisnya dari dalam Lapas. Promosi bisa lewat internet. Bagi masyarakat yang ulang tahun umpamanya, bisa memesan kue cake atau bagi mereka yang butuh souvenir, semua tersedia di Lapas Nunukan,’’ jelasnya.
Dengan demikian, saat mereka bebas nanti, produk mereka sudah dikenal masyarakat, dan tinggal meneruskannya saja.
‘’Sehingga mereka mandiri dan tidak bingung lagi, mau kemana dan bagaimana saat bebas penjara,’’ tegasnya.
WBP Lapas Nunukan punya gaji

Program Rahmawati Zainal inipun mendapat dukungan dari pihak Lapas.
Selama ini, Lapas Nunukan memberdayakan banyak tamping untuk menghasilkan banyak karya yang bernilai ekonomi (UMKM).
Lapas Nunukan juga memberdayakan para WBP untuk mendukung ketahanan pangan.
Mereka menanam sayuran di atas lahan 10 hektar, dan memelihara ayam broiler di kandang dengan kapasitas 1700 ekor.
‘’Saat ini, selain kebutuhan pangan di Lapas sudah terpenuhi dari hasil perkebunan. Lapas juga setiap hari memasok sayuran ke pasar Mamolok dan Sedadap,’’ tutur Nidal.
Lapas Nunukan juga tidak memanfaatkan tenaga WBP dengan sia sia. Para WBP menerima premi 15 persen dari omset hasil penjualan sayur mayur, sebagai gaji mereka.
Entah itu kangkung, pare, sawi, semangka, cabai, maupun ayam potong.
Premi untuk WBP, dimasukkan dalam rekening masing masing, yang nantinya akan diberikan saat bebas.
Selama ini, kata Nidal, banyak narapidana yang bingung mau apa dan akan kemana karena tidak punya uang.
Dengan hasil premi yang dikumpulkan tiap bulan di rekening masing masing tamping, mereka tak perlu mengkhawatirkan masalah tersebut.
‘’Jadi ketahanan pangannya dapat. UMKM-nya hidup. Dan harapannya, WBP bisa mandiri setelah bebas nanti,’’ kata Nidal.