NUNUKAN, infoSTI – Komoditi rumput laut jenis cottoni yang menjadi andalan perekonomian Nunukan, Kaltara, tak kunjung mengalami kenaikan harga sudah hampir dua tahun lamanya.
Kondisi ini, mempengaruhi kelesuan ekonomi Nunukan, dan menjadi alasan para pembudidaya gantung tali, dan tidak sedikit dari perantau, kembali ke kampung halamannya.
‘’Kita semua tahulah bagaimana ekonomi Nunukan saat harga rumput laut bagus. Semua barang dibeli, toko toko penuh. Tapi ketika harga rumput laut turun, yang terjadi kebalikannya,’’ ujar Ketua Koperasi Rumput Laut Mamolok Sejahtera, Kamaruddin, dihubungi Rabu (30/4/2025).
Harga rumput laut di Nunukan, mengalami harga tertingginya pada sekitar 2023, dengan Rp 42.000/Kg.
Dengan harga yang demikian tinggi, pemesan juga meminta standar tinggi, dengan kadar kekeringan antara 37-38 persen.
Standar ini, kurang difahami masyarakat, sehingga harga yang sudah tinggi tersebut, perlahan anjlok, dan belum normal, hingga hari ini.
‘’Sekarang harga rumput laut juga bervariasi sesuai kadar kekeringan. Di kekeringan 38 persen, rumput laut dibeli Rp 13.000/Kg, sementara kadar 45 – 50 persen, dibeli seharga Rp 8000/Kg,’’ kata Kamaruddin.
Anjloknya harga, ikut menjadikan semangat petani atau pembudidaya rumput laut, down.
Setelah bertahan setahun lamanya menunggu harga kembali naik, mereka akhirnya tidak sabar, dan memilih gantung tali, bahkan pulang kampung untuk mencari pekerjaan lain.
Mereka mengambil uang simpanan di Bank, dan tidak sedikit yang menjual kembali barang barang berharga, yang tadinya mereka beli dari hasil rumput laut, di saat harga sedang bagus.
‘’Jadi sekarang bukan lagi menjerit petani rumput laut Nunukan. Mereka menangis,’’ kata Kamaruddin.
Hal inipun berpengaruh pada tingkat produksi rumput laut di Nunukan.
Pangsa pasar atau permintaan juga hanya diperoleh dari Surabaya. Padahal sebelumnya, permintaan dari Sulawesi Selatan cukup tinggi.
‘’Perhitungan saya pribadi, produksi rumput laut Nunukan bisa dikatakan turun 50 persen. Dulu 2023 akhir, masih sekitar 7000 ton perbulan. Sekarang setengahnya saja,’’ kata Kamarudin lagi.
Kama mengaku sering merugi dalam bisnis rumput laut. Namun, Kamaruddin dan para pembudi daya yang bertahan tetap menanam rumput laut, memiliki dua alasan.
Yang pertama, karena mereka masih memiliki harapan harga kembali tinggi, sehingga mereka nantinya tidak kekurangan benih atau kehabisan bibit rumput laut.
Dan kedua, mereka bingung harus bekerja apa dalam keadaan ekonomi Nunukan yang lesu saat ini.
‘’Memang kurang kalau dihitung hitung. Tapi kami masih menjaga harapan, siapa tahu harga akan kembali tinggi. Kita semua merasakan dampak rumput laut saat harga bagus,’’ jelasnya.
Kamarudin juga sudah melakukan audiens dengan Pemda Nunukan, terkait strategi menaikkan harga rumput laut.
Ada dua hal yang menjadi perhatian. Masalah kualitas, dan hama pengganggu tanaman rumput laut.
Kamaruddin berharap Pemda Nunukan menjalin kemitraan dengan Universitas Borneo Tarakan, atau Politekhnik Negeri Nunukan, untuk edukasi dan memberikan pemahaman bagaimana kualitas kadar rumput laut yang standar dan diinginkan buyer.
‘’Pembudi daya, pembeli, sampai pengirim rumput laut tidak terlalu mengerti seperti apa kadar yang dimau. Untuk meningkatkan kualitas, perlu adanya forum khusus membahas bagaimana kualitas meningkat dan harga kembali bagus,’’ kata Kamarudin.