oleh

Pengawasan Jalur Tikus di Perbatasan RI – Malaysia Tak Bisa Optimal, Imbas Efisiensi Anggaran

NUNUKAN, infoSTI – Kebijakan efisiensi anggaran berimbas pada pengawasan jalur jalur tikus di pesisir perbatasan RI – Malaysia, di Nunukan, Kalimantan Utara.

Untuk diketahui, jalur tikus merupakan sebutan untuk sebuah lokasi yang kerap digunakan sebagai akses penyelundupan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) ke Malaysia.

‘’Kalau sebelumnya sekitar seratus jalur tikus bisa kita awasi. Saat ini, kita hanya bisa menjangkau beberapa saja. Imbas efisiensi anggaran,’’ ujar Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nunukan, Kombes Pol. FJ Ginting, Senin (17/3/2025).

Sampai hari ini, Kabupaten Nunukan, menjadi jalur sutra bagi masuknya para CPMI.

Warga dari sejumlah provinsi, terutama, Sulawesi Selatan, NTT dan NTB, sering diamankan aparat saat dibawa masuk secara illegal oleh para tekong/calo.

Dengan banyaknya pengungkapan kasus keberangkatan CPMI Ilegal melalui Nunukan, pengawasan terhadap jalur jalur tikus, urgen dilakukan.

‘’Kuncinya sinergytas dengan aparat keamanan di perbatasan Negara. Kita tetap lakukan pengawasan dan pencegahan sebagai tugas yang kita emban,’’ kata Ginting.

Selain pengawasan dan pencegahan pemberangkatan CPMI ilegal, BP2MI Nunukan juga menjalin koordinasi dan komunikasi bersama Konsulat RI di Malaysia, Imigrasi, dan PT Pelni, berkaitan dengan pemulangan deportan dan kedatangan kapal laut.

Jika biasanya para Pekerja Migran dideportasi ke Nunukan, lalu ditampung 4 sampai 5 hari di penampungan sementara Rusunawa.

Kini BP2MI harus memastikan kedatangan mereka, berjarak sehari sebelum kapal Pelni tiba di Pelabuhan Tunon Taka.

‘’Kita juga efisiensi anggaran konsumsi saat mereka ditampung beberapa hari di Rusunawa. Jadi kita koneksikan kapan waktu mereka dideportasi dengan waktu kedatangan kapal. Kalau biasanya mereka menunggu berhari hari sebelum dipulangkan ke kampung halaman, kini jedanya hanya sehari,’’ jelas Ginting.

BP2MI Nunukan juga sudah memiliki cara untuk melaksanakan program BP2MI pusat, yang menginginkan agar para Pekerja Migran, bisa pulang sebagai juragan, bukan menjadi deportan.

Ginting menegaskan, BP2MI Nunukan sudah menggandeng para mentor yang ahli dalam pengolahan menu berbahan dasar rumput laut, seni membatik, hingga pembuatan penganan berbahan dasar pisang.

‘’Kita pilih produk yang mudah dan tersedia di sekitar. Rumput laut, merupakan komoditi unggulan Nunukan. Pisang sangat banyak di Pulau Sebatik, dan kita memiliki batik Tidung sebagai salah satu ciri khas etnik di Nunukan,’’ urai Ginting.

Program tersebut, menyasar pada para deportan yang notabene gagal merantau di luar negeri, karena mereka masuk secara unprosedural.

‘’Kebiasaan turun temurun yang tidak mementingkan dokumen keimigrasian harus ditekan, dengan memahamkan mereka atas konsekuensi bekerja di Negara orang, tanpa jaminan keamanan dan perlindungan hukum,’’ katanya lagi.

Ginting melanjutkan, mayoritas deportan dengan usia diatas 40 tahun, memilih tinggal dan mencari kerja di Nunukan, ketimbang dipulangkan ke kampung halaman.

Mereka merasa malu, dan pantang pulang tanpa hasil.

‘’Jadi untuk yang purna, yang sudah tidak mau kembali ke Malaysia, kita berikan bekal untuk memulai usaha. Kita gandeng Perbankan untuk permodalan. Dan kita terus berupaya membantu mereka menjadi mandiri,’’ kata Ginting.

Terlepas dari itu semua, merubah mindset para Pekerja Migran yang kadung percaya calo/tekong, bukan perkara mudah.

Selama ini, anggapan tekong adalah pengurus TKI, membuat banyak CPMI suka rela meminta jasa mereka untuk menyeberangkannya ke Malaysia secara illegal, meski harus kucing kucingan dengan aparat.

‘’Kenapa meskipun ditangkapi dan dipulangkan, kasus CPMI illegal tidak habis habis. Mereka kadung percaya calo dengan pemberangkatan langsung tanpa pemeriksaan segala macam. Tapi konsekuensinya yang tidak mereka fikirkan,’’ sesal Ginting.