oleh

Protes Upah Honorer RSUD Nunukan Diwarnai Walkout Anggota Dewan, Wartawan Dilarang Melakukan Peliputan

NUNUKAN, infoSTI – Puluhan tenaga honorer RSUD Nunukan, Kalimantan Utara, mengadu ke DPRD Nunukan akan adanya upah mereka yang nilainya turun dibanding sebelumnya.

Juru bicara tenaga honor RSUD Nunukan, Muslimin mengatakan, jika sebelumnya ia menerima gaji Rp 1,3 juta, dengan adanya janji penambahan gaji honorer Rp 500.000 dari Bupati sebelumnya, maka secara kalkulasi awam, ia menerima Rp 1,8 juta.

‘’Faktanya, saya terima Rp 1.650.000. Ini kenapa kurang, kami butuh penjelasan,’’ ujarnya, dikonfirmasi, Senin (3/3/2025).

Di RSUD Nunukan, ada sekitar 518 tenaga honorer, dengan beragam bagian.

Mulai security, OB, tukang masak, pengantar makanan pasien, hingga supir ambulan.

Gaji honor mereka juga bervariasi, antara Rp 1,1 juta hingga Rp 1,3 juta.

Seharusnya, kata Muslimin, jika menggunakan logika awam, mereka naik gaji Rp 500.000.

‘’Mungkin Rp 500.000 itu nominal kecil bagi managemen RSUD. Tapi bagi kami sangat berharga. Saya 13 tahun jadi supir ambulan di RSUD, jadi faham betul masalah ini. Lantas mengapa gaji kami tidak pas, dan tidak ada penjelasan,’’ tuturnya.

Setelah sempat bertanya masalah tersebut ke Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), para tenaga honorer RSUD Nunukan memutuskan mengadu ke DPRD.

Hering diwarnai walkout Anggota DPRD

Pembahasan masalah gaji honor yang dinilai tidak sesuai, dilakukan di ruang Ambalat 1 DPRD Nunukan, dipimpin oleh Ketua Komisi 3, Rian Antony.

Namun belum lagi masuk penjelasan adanya gaji yang diasumsikan tidak diterima sesuai nominal seharusnya, dari managemen RSUD Nunukan, salah satu anggota DPRD, Andi Mulyono, walk out dari ruang rapat.

‘’Ironi mengapa para tenaga honorer RSUD tidak diikutkan dalam rapat. Mereka dilarang masuk oleh Direktur RSUD Nunukan dengan alasan tidak diundang. Saya langsung ambil sikap walkout,’’ ujar Ketua Komisi I, sekaligus Ketua Fraksi Gerindera DPRD Nunukan ini.

Bagi Andi Mulyono, rapat tersebut tidak layak diteruskan, karena seakan di lembaga DPRD, yang merupakan rumah rakyat, terjadi pengkotakan antara managemen RSUD, dengan tenaga honor.

Tanpa masuknya para tenaga honor, managemen RSUD bebas berkilah membela diri, dan semakin menimbulkan pemikiran negative, dengan dugaan terjadi korupsi kecil kecilan yang disenyapkan.

‘’Apa salahnya kalau mereka tidak boleh bicara, minimal mendengarkan. Kami juga DPRD ini akan membela tenaga honorer. Kalau Dirut RSUD Nunukan melarang honorer masuk, bagaimana kami tahu permasalahan dari dua sisi. Jadi saya tegaskan, rapat ini tidak ada gunanya,’’ tegasnya.

‘’Jangan sepelekan mereka, jangan anggap nominal yang mereka tuntut itu remeh temeh jumlahnya. Dengan itulah mereka menghidupi keluarga. Ini bukan soal nominalnya, tapi mereka butuh penjelasan kenapa gajinya kurang,’’ sambungnya.

Wartawan dilarang meliput

Suasana panas tersebut, membuat rapat di skors, dan terjadi rapat tertutup di ruangan lain, namun tetap tidak mempertemukan tenaga honor dengan managemen RSUD juga Dinas Kesehatan.

Sejumlah wartawan yang hadir, diultimatum tidak masuk ruangan, bahkan di depan pintu ruangan yang digunakan untuk pertemuan, baik antara tenaga honorer dengan anggota DPRD, ataupun Anggota DRPD dengan managemen RSUD, ditutup rapat dan dijaga security.

‘’Maaf bang, saya diminta jaga pintu, jangan ada wartawan meliput,’’ ujar security tersebut.

Larangan ini, membuat para wartawan geram, dan terpaksa menunggu pertemuan tersebut selesai.

‘’Sepertinya mereka ini perlu difahamkan tentang Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Bisa pidana ini barang. Masa iya wartawan dilarang liputan,’’ kata Asrul, wartawan Radar Nunukan (Jawa Pos grup).

Wahyu, wartawan RRI Nunukan juga mengaku kesal karena seakan kasus tersebut, merupakan isu besar yang sama sekali tak boleh bocor ke masyarakat.

‘’Kasus korupsi BLUD RSUD Nunukan ini baru selesai vonis. Jangan membuat masyarakat semakin beranggapan buruk yang mengurangi kepercayaan kepada rumah sakitlah. Kok aneh dilarang meliput,’’ katanya kesal.

Penjelasan Dirut RSUD Nunukan

Setelah menunggu pertemuan selesai, wartawan memburu Dirut RSUD Nunukan, Sabarudin.

Ia mengatakan tidak berniat menutup kasus ini, hanya tidak ingin permasalah meluas dan menjadi sentiment negative bagi pelayanan RSUD.

‘’Sebenarnya ini masalah regulasi yang berubah. Kalau sebelumya honorer dibayar dengan sumber BLUD RSUD, sekarang dibayar dengan APBD Nunukan,’’ jawabnya.

Dengan perubahan regulasi tersebut, kata dia, otomatis standar penggajian juga tidak lagi sama, dan memang sedikit rendah dibanding sebelumnya.

‘’Jadi pendapatan RSUD di BLUD tidak mencukupi untuk gaji honorer, sehingga kami bermohon agar dibackup APBD,’’ tambahnya.

Sabarudin membenarkan anggapan para honorer yang seharusnya menerima tambahan gaji Rp 500.000.

Hanya saja, ketika penggajian dilakukan APBD, regulasi harus mengacu Standar Satuan Harga (SSH), sehingga kalkulasi tersebut, tidak lagi sama.

‘’Memang kalau mengacu BLUD, yang terima gaji Rp 1,3 juta, akan menerima Rp 1,8 juta. Tapi kalau mengacu SSH, hanya menerima Rp 1.650.000,’’ kata dia.

Regulasi ini, katanya, harus difahami oleh para tenaga honorer. Karena ketika penggajian sudah menggunakan dasar SSH, maka tidak bisa lagi mengacu besaran BLUD, karena bisa terjadi pelanggaran dan temuan, yang berujung pengembalian uang, seperti kasus yang pernah dilakukan RSUD sebelumnya.

Selain itu, perubahan regulasi penggajian dari BLUD ke SSH APBD, dikatakan Sabar, sebagai bentuk perhatian dan sayangnya RSUD kepada para honorer.

‘’Kalau menganut BLUD, ketika pendapatan turun, gaji ikut turun. Kalau sudah begitu, kita akan lakukan opsi rasionaliasi tenaga honor, atau rasionalisasi gaji. Beda kalau pakai APBD, selalu terjaga nominalnya,’’ urainya.

Selain itu,  para honorer yang digaji dengan APBD, berpotensi besar masuk database BKN, yang tidak bisa terjadi ketika masih menggunakan BLUD.

‘’Jadi penghasilan RSUD dari premi BPJS itu rata rata Rp 5 miliar perbulan. Diluar obat dan jasa, kita butuh Rp 800 juta untuk menggaji honorer, tapi ketersediaan anggaran BLUD hanya Rp 700 juta. Tapi mungkin penjelasan ini yang tidak diterima mereka, sehingga membawa kasus ini ke DPRD,’’ kata Sabar.