NUNUKAN, infoSTI – Jelang pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, masih menunggu regulasi dan standar harga per menu, yang ditetapkan Pemerintah RI.
Sejauh ini, meski wacana yang sering terdengar, realisasi MBG dilaksanakan mulai Januari 2025, namun selama belum ada kepastian dari pusat, Pemda Nunukan, belum bisa menyiapkan apapun.
Entah itu dapur umum, juru masak, hingga petugas pengantaran.
“Kita belum tahu seperti apa program ini nanti (MBG). Berapa standar harga menunya. Kalau sebagian dibebankan ke APBD, aturannya seperti apa, dan banyak masalah lain yang membuat kita belum bergerak menyiapkan sarana prasarananya,” ujar Kadisdik Nunukan, Akhmad, ditemui, Jumat (3/1/2025).
Di Kabupaten Nunukan, ada sekitar 37.500 anak sekolah usia PAUD, SD, dan SMP yang akan menjadi sasaran.
Pemda Nunukan juga sudah menghitung secara kasar, kebutuhan anggaran untuk menambal kekurangan APBN, lebih Rp 60 miliar setahunnya, jika standar harga yang ditetapkan adalah Rp 15.000/porsi.
“Kita dengar lagi beritanya, standar harganya turun jadi Rp 10.000. Artinya, kalau kelebihannya menjadi tanggungan APBD, bisa mencapai lebih Rp 100an miliar setahunnya,” kata Akhmad lagi.
Jumlah tersebut, kata Akhmad, belum termasuk murid murid dan pelajar sekolah swasta, Madrasah Ibtidaiyah, hingga Madrasah Tsanawiyah. ataupun Ibu hamil dan menyusui.
Selain itu, untuk para siswa siswi SMA, SMK dan Madrasah Aliyah, apakah ditanggung juga oleh APBD Pemkab Nunukan, mengingat SMA/SMK, merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi.
Akhmad menegaskan, Kabupaten Nunukan yang merupakan perbatasan RI – Malaysia, memiliki permasalahan yang harus menjadi perhatian khusus.
Geografis dan akses transportasi, menjadi masalah serius dalam distribusi MBG ke sekolah sekolah pedalaman.
“Katakan, Nunukan dan Sebatik bisa aman dalam distribusi MBG, karena mudah terjangkau dan berada di satu daratan pulau. Bagaimana dengan wilayah Lumbis yang hanya bisa dijangkau dengan jalur sungai dengan tantangan jiram. Bagaimana dengan dataran tinggi Krayan, yang jalannya sulit dilalui kendaraan. Banyak sekali masalah belum terbahas,” kata dia.
Pada uji coba MBG akhir 2024 lalu, standar harga yang diwacanakan adalah Rp 15.000 untuk wilayah Kota Nunukan, Rp 20.000 untuk Pulau Sebatik, dan 25.000 untuk 14 Kecamatan lain yang berada di wilayah 3T (Tertinggal Terluar Terdepan).
“Itu belum kita bahas distribusi di Kecamatan Lumbis. Misalnya dari Mansalong ke Lumbis Pansiangan, yang butuh Rp 10an juta ongkos perahunya,” urainya.
Di wilayah 3T, jumlah anak sekolah juga tidak sebanyak di perkotaan.
Lokasi sekolah banyak yang sulit dijangkau, sehingga aturan 1 dapur umum untuk 3000 murid/pelajar, masih butuh dibahas lebih jauh lagi.
Akhmad berharap pihak Badan Gizi Nasional (BGN) bisa turun langsung ke Nunukan untuk melihat kondisi lapangan secara langsung.
Atau setidaknya, meminta Pemda Nunukan, menjabarkan secara rinci kondisi perbatasan negara, untuk menjadi barometer dalam mengambil kebijakan khusus.
Ia memberi gambaran, sebenarnya, pernah ada program serupa, dengan nama PMTAS (Program Makanan Tambahan Anak Sekolah).
Program tersebut dikelola langsung pihak sekolah, dilaporkan secara berkala ke Dinas Pendidikan, sehingga pelaksanaannya cukup membantu untuk wilayah Nunukan yang didominasi daerah terisolir.
“Saya ingin sekali dipanggil ke pusat. Saya akan uraikan fakta dan datanya. Bagaimana kondisi riil di lapangan,” harap Akhmad.