NUNUKAN, infoSTI – Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSP3A) Nunukan, Kalimantan Utara, mencatatkan 31 kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sepanjang Januari – Oktober 2024.
Korban, mulai di usia 5 hingga 18 tahun, dan rata rata, pelakunya adalah orang terdekat, atau memiliki hubungan kekeluargaan.
‘’Menjadi keprihatinan kita semua, dimana orang yang seharusnya menjadi pelindung dan mengajari mana baik dan mana salah, justru menjadi predator seksual itu sendiri,’’ ujar Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) DSP3A Nunukan, Endah Kurniawati, ditemui, Selasa (19/11/2024).
Endah mengatakan, kejahatan seksual di Nunukan juga diisi oleh pedofilia, hingga keinginan hidup hedon bagi gadis yang beranjak dewasa.
Sejauh ini, masih ada kasus anak usia sekolah yang menjajakan diri, demi memanjakan keinginannya untuk bisa lebih trendy dan semakin modis.
Sayangnya, keinginan tersebut terbentur dengan keadaan ekonomi orang tua. Alhasil, si gadis rela menjajakan diri, demi barang mewah dan mahal yang ia inginkan.
‘’Ada kasus dimana anak gadis membuka layanan open BO. Itu dilakukan sejak dia SMP dan sekarang sudah mau lulus SMA,’’ kata Endah.
Layanan gadis ABG di Nunukan, biasanya dibeli dengan harga Rp 300.000 sampai Rp 800.000.
Dan mirisnya, pada beberapa kasus, pelaku open BO, adalah gadis rumahan dan pendiam.
‘’Kembali pada pola asuh dan gaya hidup. Dalam kasus kita, anak pendiam bukan berarti baik. Jenis tontonan film juga bisa berpengaruh pada psikology anak,’’ jelas Endah.
Diantara kasus TPKS yang paling ekstreme yang ditangani DSP3A Nunukan, adalah kasus tiga keponakan perempuan yang masih SD, dititipkan ibu kandungnya ke pamannya.
Si ibu yang mengalami masalah rumah tangga dengan suaminya, terpaksa mandiri dengan membuka usaha berjualan kue cake, demi menghidupi ketiga putrinya.
Suatu saat, ia butuh barang belanjaan yang harus dibeli di Sulawesi. Si ibupun, menitipkan ketiga anak perempuannya ke saudaranya.
‘’Waktu ibunya pulang, putri paling bungsu yang mungkin masih kelas 2 SD bertanya, ‘Bunda, benarkah ini jantung’, sambil memegang kemaluannya. Si ibu sontak terkejut dan bertanya siapa yang mengajarinya demikian. Si bungsu menjawab ‘paman’. Karena curiga, iapun mengorek keterangan dari putri yang lain dan melaporkan kasusnya ke polisi,’’ urainya.
Dan parahnya, kakak di bungsu mengalami perubahan perilaku. Ia terlihat galak saat didekati orang yang tak pernah ia lihat.
Si kakak juga selalu memegang pisau saat mau tidur, dan beberapa kali melukai dirinya sendiri.
‘’Si anak keduanya sama sekali tidak mau bicara saat BAP polisi. Tidak mau kami dekati. Yang jelas dia mengalami tekanan mental. Sampai segitunya efek perbuatan pamannya,’’ sesal Endah.
Namun, selalu ada hikmah di balik peristiwa. Ibu para korban menceritakan kondisi ketiga putrinya kepada suaminya yang selama ini berada di Pulau Jawa.
Keduanya bertemu di Tarakan, dan hubungan yang semula masih tegang dan berakibat pisah ranjang sekian lama, mulai mencair.
Anak anak korban si paman, lebih ceria saat kembali bertemu ayahnya. Endah berharap, peristiwa yang dialami anak mereka menjadi jalan untuk kesembuhan mental dan perbaikan hubungan bagi kedua orang tuanya.
‘’Bagaimanapun, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Itu menjadi obat bagi mereka yang selama ini kekurangan kasih sayang ayah. Dan memang, kebanyakan kasus TPKS yang tercatat di Nunukan, rata rata terjadi di lingkungan keluarga yang broken home,’’ kata Endah.