NUNUKAN, infoSTI – Enam eks buruh perusahaan kelapa sawit di Kecamatan Sebuku, Nunukan, Kalimantan Utara, yang dipecat PT Bulungan Hijau Perkasa (BHP), mengadu ke DPRD Nunukan, Rabu (25/9/2024).
Para buruh tersebut, mendapat pembelaan dari kuasa hukum, Faris, dan menyuarakan tuntutan mereka agar bisa kembali dipekerjakan karena mereka sangat membutuhkan uang untuk bertahan hidup di perantauan.
‘’Teman teman buruh, dipecat dengan alasan mangkir. Itu terjadi dua bulan lalu. Mereka tidak tahu kenapa bisa langsung dipecat, sementara mereka adalah perantau dan sangat bergantung dengan gaji yang mereka dapat dari perusahaan,’’ ujar Faris dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Nunukan.
Untuk diketahui, para buruh yang dipecat, tidak memiliki perjanjian kerja, sehingga jika Dinas Tenaga Kerja Nunukan menyarankan untuk penyelesaian ke Pengadilan Hubungan Industrial (HI) maka, mereka dipastikan akan kalah tanpa perlawanan.
Dengan status tersebut, kata Faris, ia meminta DPRD sebagai penyambung suara rakyat, bisa memperjuangkan kelanjutan nasib mereka, dan meminta penjelasan perusahaan atas kebijakan yang dinilainya tidak adil tersebut.
‘’Sebagai pertimbangan, dengan kondisi para buruh yang tidak memiliki uang setelah dipecat PT BHP, mereka rela urunan demi berjuang dan menggantungkan harapan nasibnya ke para anggota dewan yang merupakan tempat masyarakat mengadu. Harap ini menjadi perhatian,’’ tegas Faris.
Para buruh tersebut, berulangkali meminta sebuah keputusan dan jawaban yang sesuai harapan mereka, untuk terus bisa bekerja dan mendapat penghasilan.
Demi harapan tersebut, para buruh rela mengumpulkan uang, urunan sedikit demi sedikit untuk membayar mobil dan speed boat menyeberang ke kota Nunukan, yang ditempuh dalam waktu 6 sampai 8 jam perjalanan dari Kecamatan Sebuku, dari areal perusahaan PT BHP.
‘’Kemana lagi kami mengadu kalau bukan ke anggota DPRD. Kalau kami dipaksa menyelesaikan lewat sidang HI pasti kalah karena kami tidak ada uang. Jadi mohon DPRD memperjuangkan nasib para buruh,’’ pinta Faris.
Kepala Disnakertrans Nunukan, Misadi menjelaskan, kasus ini akan menjadi atensi pihaknya, dan menjadi bahan evaluasi yang segera diberlakukan ke PT BHP.
Terdapat beberapa catatan dari aduan para buruh yang diwakili oleh kuasa hukum mereka, bahwa status para buruh tidak memiliki Surat Perjanjian Kerja (SPK).
‘’Ini salah satu poin yang akan kita pertanyakan ke PT BHP. Tapi logikanya, ketika perusahaan membayar mereka, pasti mereka punya SPK. Tapi ini kan aduan yang disuarakan, maka kami akan meminta kejelasan dari perusahaan,’’ kata dia.
Misadi menegaskan, Disnakertrans Nunukan sudah mencatat dan mendata 6 buruh yang terkena pemecatan.
Disnaker akan memastikan hak hak para buruh terpenuhi, setelah ada mediasi atau setelah pertemuan dengan PT BHP.
‘’Kasus ini tentu menjadi konsen kami. Dan tentu sebelum kita mempertanyakan ini ke pihak perusahaan, belum ada titik terang,’’ imbuhnya.
Forum RDP ini belum ada keputusan atau tindakan lebih jauh, mengingat pihak perusahaan PT BHP tidak datang.
Managemen PT BHP meminta pertemuan diagendakan ulang pada 9 Oktober 2024.
Namun, pemberitahuan PT BHP tersebut, membuat para anggota DPRD Nunukan tidak puas.
Ketua RDP, Rachma Leppa Hafid dan Andi Fajrul Syam memutuskan untuk mengundang PT BHP lebih cepat dari permintaan, mengingat nasib para buruh yang tentu tidak bisa menunggu, atau digantung dalam waktu lama.
‘’Kita sepakat untuk mengundang PT BHP lebih cepat dari waktu yang diajukan perusahaan. Ini masalah mendesak, karena kita tentu tidak mau melihat buruh yang rela datang jauh jauh dengan kondisi tak punya uang menunggu waktu demikian lamanya,’’ ujar Leppa, setelah berdiskusi dengan para anggota DPRD yang hadir.