oleh

Aksi Hakim Mogok Sidang, Ratusan Sidang Kasus di PN Nunukan Tertunda

NUNUKAN, infoSTI – Hakim PN Nunukan, Kalimantan Utara, memulai aksi mogok sidang, sebagai bentuk solidaritas bagi para hakim di seluruh Nusantara yang menuntut kesejahteraan.

‘’Kita sudah sepakat menghentikan persidangan sejak Senin 7 Oktober 2024, sampai 13 Oktober 2024,’’ ujar Humas PN Nunukan, Andreas Samuel Sihite, ditemui Selasa (8/10/2024).

banner 336x280

Andreas menegaskan, para Hakim di Indonesia, sedang memperjuangkan kesejahteraan, karena sejak 2012, gaji hakim tak pernah naik.

Padahal, sebagai Pegawai Pemerintah dan pejabat Negara, seyogyanya Hakim juga mendapat fasilitas pejabat Negara, layaknya anggota DPRD yang mendapat banyak item tunjangan.

Hal tersebut, juga diatur dalam undang undang, dimana pejabat Negara berhak mendapat fasilitas untuk menunjang dan memudahkan tugasnya.

‘’Kalau dikatakan pejabat, Anggota DPR itu mendapat fasilitas transportasi, perumahan, kesehatan dan sebagainya. Hakim tidak mendapatkan itu semua,’’ ujar Andreas lagi.

‘’Hakim tidak ada take home pay seperti pejabat pejabat Negara lain. Bahkan kalau Jaksa mendapat tunjangan perkara, Polisi dapat tunjangan perkara, Hakim tidak ada. Jadi bersidang sehari sekali atau sehari puluhan kali sekalipun, tunjangannya sama. Itu yang menjadi salah satu materi tuntutan juga,’’ jelasnya.

Menurut Andreas, 12 tahun tidak ada kenaikan gaji, itu bukan sebuah perkara wajar, dan memang perlu dipertanyakan.

Bagaimana mungkin pejabat dan ujung tombak keadilan Negara, tidak mendapat perhatian serius di sisi kesejahteraan.

Dan lebih mengherankan lagi, para Hakim kerap mendapat roasting atau bullying netizen, saat mencurahkan keluh kesahnya di Medsos.

‘’Seakan akan Hakim gajinya paling tinggi. Padahal jika merujuk data, semua kementrian atau lembaga, mana dari mereka yang tidak mengalami kenaikan gaji. Hakim 12 tahun tidak ada kenaikan gaji. Melihat postur APBN, Tahun 2025, Kejaksaan mendapat alokasi anggaran Rp 25 Triliun, sementara MA, hanya Rp 12 Triliun. Jadi memang ini harus disuarakan,’’ urai Andreas.

Dengan gambaran tersebut, seharusnya DPR dan Eksekutif merumuskan gaji Hakim dalam porsi tertentu.

Layaknya anggaran pendidikan dengan ploting 20 persen dari APBD. Gaji para Hakim juga seharusnya mendapat porsi tetap dan jelas.

‘’Beban Hakim sangat besar karena harus memberikan keadilan. Sementara pemberi keadilan justru diperlakukan tidak adil. Itu dia yang semua Hakim pertanyakan,’’ tegasnya.

Kendati mogok bersidang, Hakim PN Nunukan tetap memberikan konsen bagi kasus kasus yang menjadi atensi public, seperti sidang kasus dugaan pelecehan gadis pembuat KTP oleh oknum Kabid di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).

Juga persidangan yang terdakwanya memiliki batas waktu penahanan, atau alasan lain yang sifatnya urgen dan mendesak.

‘’Mulai 7 Oktober 2024 kemarin, kita bersidang sekali di kasus yang menyedot perhatian public saja. Padahal dalam sehari, kasus pidana yang kita sidang sampai 27 perkara. Artinya ratusan sidang perkara tertunda dengan aksi ini. Kita berdo’a semoga aksi solidaritas ini berjalan lancar,’’ katanya lagi.

Untuk diketahui, ada 9 Hakim di PN Nunukan, dengan jumlah perkara sekitar 550 dalam setahun. Terdiri dari 400an kasus pidana, dan 150 permohonan/gugatan (perdata).

Diberitakan, ribuan hakim di pengadilan seluruh Indonesia disebut akan “mogok” dengan melakukan cuti bersama mulai 7 hingga 11 Oktober 2024 atau selama lima hari.

Para Hakim memprotes besaran gaji dan tunjangan jabatan hakim yang saat ini berlaku, masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012.

Dimana seharusnya, PP dimaksud harus disesuaikan. Terlebih, Indonesia terus mengalami inflasi setiap tahun.

Gambaran besaran gaji hakim saat ini, sama dengan pegawai negeri sipil (PNS) biasa. Padahal, tanggung jawab dan beban mereka lebih besar.

Selain gaji pokok, tunjangan jabatan hakim juga tidak berubah dan disesuaikan selama 12 tahun terakhir.

Akibatnya, nilai tunjangan yang saat ini diterima hakim tidak relevan dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan hidup.

Di sisi lain, para hakim menilai PP Nomor 94 tahun 2012, tidak lagi memiliki landasan hukum yang kuat karena Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Putusan Nomor 23 P/HUM/2018 yang memerintahkan agar gaji hakim ditinjau ulang.

Para hakim juga mempersoalkan tunjangan kinerja yang hilang sejak 2012. Mereka tidak lagi menerima remunerasi.

Sampai hari ini, para hakim hanya mengandalkan tunjangan jabatan yang stagnan sejak 12 tahun lalu.