NUNUKAN, infoSTI – Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia (BNPP RI) melaksanakan survei dan verifikasi data lahan/tanah masyarakat yang terdampak perubahan batas wilayah Negara RI–Malaysia di Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara, pasca pengukuran ulang batas Negara pada Juni 2019 lalu.
Kegiatan survey, berlangsung pada 19–28 September 2025, beranggotakan 29 personel yang terdiri atas Surveyor Badan Informasi Geospasial, Direktorat Topografi TNI AD, kementerian/lembaga terkait, serta Satgas Pamtas RI–Malaysia.
Direktur Pemetaan Batas Wilayah dan Nama Rupabumi pada Badan Informasi Geospasial (BIG), Khafid mengatakan, selain melakukan verifikasi teknis terkait lahan dan batas negara, Tim juga memverifikasi verifikasi lahan persil yang bersinggungan dengan garis batas lama dan baru, data administrasi status kepemilikan, serta kepentingan preservation area dan cadangan lahan untuk sarana dan prasarana pendukung.
‘’Dan kita siapkan skema ganti untung untuk masyarakat terdampak perubahan garis batas Negara di Pulau Sebatik,’’ ujarnya, ditemui saat berjunjung ke Nunukan, Jumat (26/9/2025).
Pada dasarnya, perubahan garis batas Negara di Pulau Sebatik, Indonesia hanya mendapat dampak negatif sekitar 5 hektar, sementara dampak positifnya, Indonesia mendapat lahan tambahan sekitar 127 hektar.
Khafid mengatakan, ada sekitar 65 bidang, terdiri dari aset tanah, perkebunan, sawah dan bangunan rumah warga yang sedang divalidasi datanya.
Hal tersebut, berkaitan erat dengan nilai ganti untung yang akan diberikan kepada warga pemilik aset yang terdampak.
‘’Kita perlu menghitung berapa nilai ekonominya. Berapa angka sesuai NJOP-nya. Itu kita perlu juga menghitung nilai tanaman yang masuk Malaysia juga sebelum membayarkan ganti untung pada para pemilik lahan/tanah yang terdampak perubahan garis batas Negara,’’ kata dia.
Dari hasil verifikasi data sementara, ada sekitar 13 bidang yang menjadi target ganti untung, diantaranya 16 bangunan di Pulau Sebatik, terdiri dari 11 rumah warga, 2 gudang, 1 saung, tempat parkir dan 2 bangunan kosong yang tak diketahui fungsinya.
Khafid tidak memberi deadline waktu, kapan pembayaran ganti untung bagi masyarakat terdampak perubahan garis batas Negara diberikan.
‘’Kita masih proses verifikasi data,’’ katanya lagi.
Kendati demikian, Khafid menegaskan, survei di Pulau Sebatik ini diharapkan menjadi langkah strategis dalam memastikan pengelolaan batas wilayah negara yang berkeadilan, sekaligus mempertegas kehadiran negara di wilayah perbatasan.
Terpisah, Camat Sebatik Utara, Zulkifli mengingatkan BNPP dan BIG terkait status dan identitas warga Pulau Sebatik, yang berpotensi menjadi kendala dalam proses ganti untung.
‘’Kita tahu di Pulau Sebatik, sebagian warganya pergi ke Malaysia untuk mencari penghidupan disana karena upahnya relative lebih besar. Begitu dapat modal, mereka membeli tanah untuk kebun sawit. Sementara identitas mereka juga masih abu abu,’’ kata Zulkifli.
Potensi konflik masih sangat besar jika membahas ganti untung bagi masyarakat Sebatik yang terdampak pengukuran ulang batas Negara.
Bahkan saat ini, potensi konflik yang paling besar adalah ketika masyarakat yang masih merasa memiliki kebun sawit di Malaysia, tetap nekat memanen kebun mereka.
Zulkifli menegaskan, verifikasi teknis lahan persil yang bersinggungan dengan garis batas lama dan baru, data administrasi status kepemilikan lahan, memastikan identitas para pemilik aset yang terdampak pengukuran ulang, menjadi salah satu tugas berat yang harus dilakukan.
‘’Masalah surat menyurat (administrasi) ini menjadi persoalan serius. Kita juga sedang melakukan pendataan. Ada yang belum setor alas hak, surat kepemilikan, dan lainnya. Kasus batas Negara sudah lama, dan potensi konfliknya harus menjadi perhatian serius,’’ kata Zulkifli.