oleh

Merasa Menjadi Target Penangkapan Aparat, Asosiasi Pemasok Ikan Nunukan Mengadu ke DPRD Nunukan

NUNUKAN, infoSTI – Asosiasi Pemasok Ikan Nunukan (ASPIN), mengadu ke DRPD Nunukan, Kalimantan Utara, mengeluhkan aparat keamanan yang dianggap menjadikan mereka target penangkapan.

Selama ini, pemasukan ikan yang dikonsumsi masyarakat perbatasan RI – Malaysia, berasal dari Malaysia, sehingga penangkapan yang terjadi, berpotensi kelangkaan bagi pasokan ikan untuk daerah pedalaman Nunukan.

‘’Kapal kami, KM Manafman 02 sudah dua kali ditangkap aparat. Yang terakhir pada Kamis 14 Agustus 2025 di Perairan Sei Ular. Kapal memiliki kelengkapan berkas, hanya saja ikan yang dimuat tidak memiliki sertifikat kesehatan ikan karena dari Tawau tidak pernah mengeluarkan sertifikat itu,’’ ujar juru bicara ASPIN, Qori dan Kasman, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Ruang Ambalat, DPRD Nunukan, Jumat (22/9/2025).

KM Manafman 02, mengangkut 61 boks ikan beragam jenis asal Tawau, Malaysia.

Sebanyak 36 boks, dibongkar di pasar tradisional Jamaker, sementara sisanya, 25 boks ikan, diperuntukkan bagi daerah pedalaman, yaitu, Seimaggaris, Kanduangan, Sebakis hingga Sebuku.

‘’Dan kapal kami ditangkap di Sei Ular, perairan Nunukan oleh Direskrimsus Polda Kaltara. Mobil yang bertugas jemput ikan juga diamankan,’’ urai Qori di hadapan para Pejabat Pemda, Anggota DPRD dan perwakilan TNI Polri dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi II DPRD Nunukan, Andi Fajrul Syam.

Kasman menegaskan, ASPIN sama sekali tidak keberatan aparat di perbatasan menegakkan aturan.

Para pemasok ikan juga meminta agar pemerintah atau stake holder terkait memberikan petunjuk dan arahan apa saja dokumen administrasi yang harus dilengkapi agar operasional kapal bisa berjalan lancar.

‘’Kapal kami ini hanya sebagai ojek. Jadi ikan itu dipesan pembeli, kita yang mengangkut dan mengantar saja. kalau misalnya ada kendala masalah ikan, jangan salahkan kami sebagai pengangkut. Kami mengurus semua surat perahu sesuai instruksi untuk beroperasi,’’ tegasnya.

Sering dibahas lintas instansi

Masalah penangkapan kapal pemasok ikan juga kerap dirapatkan di Kantor Pemda Nunukan.

Kesimpulannya, selama menunggu regulasi dan kelengkapan administrasi, kapal pemasok ikan diperbolehkan beroperasi sementara, dengan menggunakan skema lokal wisdom/kearifan lokal.

‘’Tapi sepertinya Polda Kaltara tidak konek dengan aparat di Nunukan. Buktinya kami menjadi target penangkapan,’’ keluhnya.

Dengan penangkapan tersebut, daerah pedalaman Nunukan berpotensi kekurangan pasokan ikan. Harga jual ikan naik, dan para pemasok akan menghindari pengiriman ke daerah pelosok karena takut ditangkap aparat.

Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Nunukan, Suhadi tidak membantah bahwa sampai hari ini, ikan yang dikonsumsi masyarakat Nunukan mayoritas jenis ikan Pelagis, Layang dan ikan Kembung, hanya didatangkan dari Malaysia.

Nelayan Nunukan tidak memiliki alat tangkap ikan Pelagis, juga tidak memiliki peralatan memadai.

‘’Ikan Pelagis, Layang, Kembung yang dijual di Nunukan, memang 100 persen dari Malaysia. Kita tidak ada alat tangkap, SDM kita tidak tidak bisa memenuhi itu,’’ ujarnya memberi penjelasan.

Harga ikan naik drastis

Kelangkaan ikan juga diakui pedagang pasar yang hadir, Adam. Ia mengatakan, kebutuhan untuk Nunukan Kota, mungkin tercukupi.

‘’Tapi untuk luar kota Nunukan, tidak bisa. Harga ikan juga naik. Yang biasanya bisa dibeli dibawah Rp 30.000 kini jadi Rp 45.000 sampai Rp 50.000,’’ kata dia.

‘’Kalau tidak ada ikan Malaysia, menangis kita di pasar. Bisa saya katakana 80 persen ikan kita dari Tawau,’’ imbuhnya.

Penangkapan salah satu kapal pemasok ikan oleh Polda Kaltara yang berimbas pada kurangnya pasokan ikan ke pedalaman dan naiknya harga ikan, diamini Kepala Dinas Perdagangan Nunukan, Sabri.

‘’Ketika kelangkaan ikan terjadi, hukum ekonomi berlaku. Harga sudah pasti naik,’’ kata dia.

Respon TNI

Perwakilan Kodim 0911 Nunukan, Kapten Inf Joan Agus mengaku heran dengan penangkapan yang dilakukan Polda Kaltara.

Argumen tersebut berdasar pada kelangkapan dokumen kapal yang diamankan. Satu satunya masalah, adalah dokumen kesehatan ikan yang seharusnya menjadi domain Karantina.

‘’Fakta di lapangan, setelah diperiksa kapalnya, ikan dibawa ke Karantina dan dilepaskan. Artinya dari sisi kesehatan, tidak ada masalah dengan ikan Tawau yang dimuat,’’ katanya.

Kalau memang masalah kesehatan ikan yang jadi masalah, tentu akan lebih tidak masuk akal lagi kalau armada perahu, bahkan mobil turut diamankan.

‘’Kalau terkait kesehatan ikan, apa hubungannya dengan perahu dan mobil yang hanya sebagai ojek,’’ tanyanya.

Selain itu, ada sejumlah item yang disepakati dalam perjanjian Sosek Malindo. Seharusnya item tersebut menjadi catatan sebagai dasar pengambilan kebijakan di perbatasan RI – Malaysia.

‘’Kapal kayu yang sebelumnya dilarang masuk Malaysia, akhirnya diperbolehkan di Sosek Malindo selama memenuhi perizinan,’’urainya.

Perwakilan TNI AL, Hadiyono menegaskan, masyarakat sebaiknya kooperatif ketika aparat di perbatasan RI melakukan pemeriksaan barang bawaan.

Harus diakui, tingkat kerawanan barang terlarang dan terbatas yang masuk melalui Nunukan menjadi warning dengan banyaknya kasus narkoba dan ballpress.

‘’Jadi jangan alergi juga kalau diperiksa. Memastikan tidak ada barang larangan masuk ke Indonesia menjadi tugas kami,’’ tegasnya.

Kendati demikian operasi pemeriksaan hendaknya dilakukan di titik titik perbatasan Negara, dan tidak sama prosedurnya dengan pemeriksaan di dalam negeri.

‘’Kami TNI AL memastikan kapal yang dari Malaysia tidak membawa narkoba, barang terlarang lain. Kita juga melihat apa yang dibawa, selama untuk kebutuhan masyarakat kami tidak saklek juga,’’ kata dia.

Ia mengingatkan, masih banyak batas territorial laut yang statusnya abu abu dan masih rawan sengketa, seperti halnya batas terirotial di Pulau Sebatik.

‘’Maka kalau ada penangkapan nelayan oleh Malaysia, segera hubungi TNI AL. Kita akan bantu, jangan nanti nanti lapornya,’’ imbaunya.

DPRD minta Polda kembalikan kapal pemasok ikan

Anggota DPRD Nunukan, Andre Pratama menegaskan, persoalan kearifan lokal, akan terus menjadi salah satu pertimbangan hukum sampai kapanpun, mengingat Kabupaten Nunukan adalah wilayah perbatasan Negara.

Sampai hari ini, masyarakat Nunukan masih sangat bergantung dengan Malaysia. Tidak hanya persoalan ikan, bahkan Sembako, sayuran hingga tong gas LPG masih mengandalkan Malaysia.

Pilihan ikan jenis Pelagis, sebenarnya opsi terakhir bagi masyarakat Nunukan ketika ekonomi mereka terpuruk. Maka yang mereka cari adalah ikan degan harga dibawah Rp 30.000/kg.

‘’Catatan pertama, nelayan Nunukan tidak ada punya lengkong (alat penangkap ikan jenis pelagis), lokasi itu ikan ditempuh bermil mil jauhnya, dengan kebutuhan BBM tidak sedikit,’’ kata Andre.

Ia juga berpesan agar aparat mewaspadai keluar masuk barang Malaysia di jalur perbatasan, atau jalur yang keluar Nunukan.

Sementara lokus penangkapan kapal ikan di Sei Ular, adalah perairan Indonesia, dimana ikan ikan yang dimuat juga dijual untuk masyarakat pedalaman.

‘’Malaysia jual ikannya ke kita, kita pula yang melarang masyarakat makan ikan. Kalau ada penangkapan, coba tolong fikirkan konsekuensinya,’’ kata dia.

Saat ini, pemasok ikan untuk warga pedalaman takut ditangkap aparat. Imbasnya, pasokan ikan ke pedalaman berkurang drastic, dan harganya juga ikut naik.

‘’Siapa yang bertanggung jawab kalau begini. Saya minta Polda Kaltara bijak dengan melepas kapal ikan yang ditangkap kemarin,’’ katanya lagi.

Ketua Komisi III DPRD Nunukan, Rian Antony menegaskan, masyarakat cinta TNI POLRI, namun perlu dicatat, kondisi perbatasan Negara di Kabupaten Nunukan harus menjadi warning.

‘’Selama ini, kita selalu menyamakan kondisi Nunukan, Sebatik, Kabudaya, Krayan. Ini kerangka berfikir dan kacamata yang digunakan pusat. Saya setuju aturan harus ditegakkan tapi Nunukan ada sebagian wilayah terdampak luar biasa seperti kasus ikan ini,’’ kata Rian.

Rian meminta pemberlakukan kebijakan asimetris, berkaca pada UU otonomi daerah yang juga berlaku asimetris.

‘’Apa kami tak berhak makan ikan kalau tidak ada pasokan ke pedalaman. Masa kami harus menyeberang hanya untuk beli ikan sekilo,’’ kata dia.

‘’Semua bicara legalisasi, tapi tak satupun memikirkan dampaknya. Perut kami di pedalaman bagaimana? masa harus selalu makan ikan asin,’’ protesnya.

Anggota DPRD, Mansur yang terbawa emosi sempat menggebrak meja dan menanyakan kinerja pemerintah Kabupaten Nunukan.

Sudah 25 tahun usia Nunukan, persoalan yang sama terus berulang.

‘’Pemerintah ini tidak adakah fikiran untuk membuat PPI di pasar Jamaker. Buat koperasi untuk membina dan mengarahkan perizinan kapal dan tata kelola perikanan,’’ katanya dengan nada tinggi.

Selama ini Dinas Perikanan selalu menjawab urusan perizinan di provinsi, seakan lepas tanggung jawab.

Padahal, mereka bisa membuka layanan terpadu, memanggil provinsi mendampingi masyarakat nelayan membuat perizinan.

‘’Mau sampai kapan kinerja kalian begini. Tidak ada selesainya ini barang kalau saling lempar kewenangan saja bisanya,’’ protesnya.

Yang lebih mengherankan lagi, Pemda Nunukan mengeklaim memberikan bantuan miliaran rupiah untuk nelayan, faktanya, ikan jenis pelagis dan ketombong hasil tangkapan nelayan lokal saja tak pernah tersedia di pasaran.

‘’Jadi memberi bantuan itu lihat azas manfaatnya. Apa yang dibutuhkan masyarakat, kita mau makan ikan saja susah karena kapal ditangkap polisi,’’ keluhnya.

RDP membahas penangkapan kapal ikan ini belum menemukan solusi karena sejumlah instansi tekhnis tidak hadir tanpa alasan jelas.

DPRD menjadwalkan ulang RDP, dan memastikan seluruh stake holder dihadirkan agar menemukan titik terang masalah.