NUNUKAN, infoSTI – Sempat menjadi polemik berkepanjangan di tahun 2022 lalu, penebangan kayu nibung untuk nelayan bagan di Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara, kini dipermudah.
Salah satu tokoh masyarakat Pulau Sebatik, Haji Firman mengatakan, pengambilan kayu nibung di Pulau Sebatik sudah dipermudah, dan telah mendapat izin dari salah satu tokoh Adat Tidung Nunukan, Sura’i.
‘’Kalau dulu sulit sekali mengambil nibung karena ramai isu dijual ke nelayan Malaysia, sekarang dipermudah, selama untuk dipakai nelayan kita,’’ ujar Firman, Senin (30/6/2025).
Untuk diketahui, polemik penyelundupan kayu nibung untuk dijual ke Malaysia, sempat viral dan menjadi pembahasan serius pasca prajurit Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Nunukan mengamankan 10 orang yang tengah berusaha mengikat 480 batang kayu nibung di areal hutan Sebaung, dan hendak menariknya keluar menggunakan kapal kayu, Senin (14/2/2022) lalu.
Aksi tersebut, mengancam habitat kayu nibung. Menghilangkan eksistensi komoditas ekspor teri ambalat, dan menjadi alasan kemerosotan ekonomi bagi para nelayan bagan di perbatasan.
Awal 2022, harga teri ambalat anjlok di harga Rp 73.500 per kilogram atau RM 21, dari harga normal Rp 105.000 per kilogram atau RM 30.
Di sisi lain, kayu nibung kian sulit didapat sehingga nelayan kesulitan untuk melakukan perbaikan bagian bagan yang rusak.
‘’Padahal eksistensi bagan ini memiliki fungsi pertahanan. Jadi para nelayan kita menjadi mata TNI AL saat ada kapal asing masuk,’’ ujar Firman, yang juga Anggota DPRD Nunukan ini.
Selama ini, para penjual kayu nibung selalu beralasan akan membawa kayu tersebut untuk nelayan bagan lokal ketika mereka berpapasan dengan aparat kemanan di tengah laut.
Begitu aparat berlalu dan mereka sampai di perairan perbatasan RI–Malaysia, mereka langsung menyimpan kayu nibung yang ternyata pesanan warga Malaysia tersebut di pinggiran sungai.
Mereka meninggalkan kayu yang telah diikat sesuai jumlah pesanan begitu saja, setelah memberi tahukan koordinat lokasi penyimpanan.
Para penjual kayu nibung menebang pohon di wilayah Sebaung dan dijual dengan harga sekitar 15.000 ringgit per pasang, atau sekitar Rp 52.500.000 dalam kurs Rp 3.500 per RM 1.
Harga ini jauh lebih tinggi dibanding pasaran lokal yang biasanya hanya dibanderol Rp 21 juta atau RM 6.000.
Satuan jumlah kayu nibung dihitung per pasang, sepasangnya ada 100 batang pohon. Jumlah tersebut adalah batang yang diperlukan untuk membangun 1 pondok bagan.
Firman menegaskan, Nibung bukan termasuk kayu, tetapi merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).
Di Pulau Sebaung, lokasi di mana pohon pohon nibung tumbuh, dan sempat dijarah oleh masyarakat untuk dijual ke Malaysia, adalah wilayah hutan produksi.
Merujuk UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, bahwa pemungutan HHBK diperlukan adanya surat izin usaha.
‘’Nelayan kita dimudahkan sekarang, mereka sudah bisa mengambil nibung untuk mempertahankan bagan, harga teri sudah stabil, batas perairan Negara juga terjaga,’’ tegasnya.
Saat ini, Firman mengatakan ada sekitar 200an bagan di perairan Karang Unarang, yang merupakan garis batas perairan RI – Malaysia.