oleh

Kisah Ahmad, Petani Buta Aksara di KTT yang Diputus Bebas Setelah Dikriminalisasi Perusahaan Perkebunan

NUNUKAN, infoSTI – Ahmad Bin Hanapi AT (47), warga Jalan P Temanggung, RT 1 Desa Buong Baru, Kecamatan Betayau, Kabupaten Tana Tidung (KTT), Kalimantan Utara, akhirnya bisa bernafas lega setelah Majelis Hakim PN Tanjung Selor, memutuskan dirinya tidak terbukti melakukan tindak pidana penyerobotan lahan, sebagaimana dituduhkan perusahaan PT Adindo Hutani Lestari (AHL).

Petikan Putusan Nomor : 83/Pid.Sus/2024/PN Tanjung Selor, juga meminta Ahmad segera dibebaskan dari penahanan.
Ahmad, akhirnya bebas pada Kamis 10 Oktober 2024, melalui Berita Acara Pengeluaran Tahanan Bebas Dari Dakwaan, Nomor : W. 18.PAS.8-PK.01.02-2825.

banner 336x280

‘’Saya ini tidak sekolah. Tidak bisa baca tulis, jadi pas diminta tanda tangan kertas sama polisi, saya coretkan tanda tangan saya. Saya tidak tahu itu bunyinya apa, ternyata itu surat penahanan,’’ ujar Ahmad, ditemui Minggu (13/10/2024).

Ahmad mengaku sangat bersyukur atas putusan bebasnya.
Baginya, putusan Majelis Hakim, sudah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yang selama ini tidak memiliki kebebasan untuk mengolah lahan miliknya, karena secara sepihak dimasukkan ke dalam kawasan hutan dan diberikan izinnya kepada para pengusaha besar.

‘’Nasib saya ini, sebenarnya dialami banyak masyarakat di Desa Buong Baru dan desa-desa sekitar, yang setiap saat dapat dijadikan tersangka di atas tanahnya sendiri,’’ ungkap Ahmad.

Setelah bebas, Ahmad hanya ingin segera kembali ke kampung halamannya, untuk berkumpul dengan keluarga.

Sedangkan tanah yang menjadi lahan garapannya, akan dilanjutkan sebagai kebun campur, agar lingkungan di desanya tetap hijau dan ramah lingkungan, serta memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat kecil seperti dirinya.

Kronologis Perkara

Ahmad bin Hanapi, dilaporkan pihak perusahaan PT AHL melakukan penyerobotan lahan.

Iapun diamankan Polisi pada 25 Maret 2024, dan langsung ditahan keesokan harinya.

Ahmad disangka telah melakukan tindak pidana mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki Kawasan hutan secara tidak sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a UU Kehutanan dan diancam pidana paling lama 10 tahun dan denda 5 milyar rupiah.

‘’Saya bingung karena saya menggarap tanah kebun warisan turun temurun dari kakek saya. Ada saya punya SPPT sejak 1990, sementara PT AHL itu ada di KTT pada 1996. Kenapa saya dituduh menyerobot lahan perusahaan,’’ kata Ahmad.

Persidangan kasus Ahmad, dimulai 3 Juni 2024. Saat itu, Ahmad tidak didampingi Penasihat Hukum.

Sampai pada akhirnya, kasus Ahmad diketahui oleh komunitas aktifis lingkungan Green Of Borneo (GOB), yang mendapatkan info kasus tersebut, dari jaring mereka di KTT.

Ketua GOB Kaltara, Darwis mengatakan, GOB memandang kasus ini sangat penting karena berkaitan dengan hak masyarakat adat di kawasan hutan.

Merekapun menggelar sebuah rapat, dan menggandeng pengacara dari Kantor Advokat Safir Law Office Jakarta .

Darwis sangat menyesalkan, bahwa sejak proses penyidikan, sampai dihadirkan dalam pemeriksaan saksi dan ahli dari jaksa penuntut umum, Ahmad ternyata tidak didampingi penasehat hukum.

Padahal berdasarkan KUHAP pasal 56 ayat (1) disebutkan, jika tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih, atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

‘’Dan ini, menurut para penasihat hukum Ahmad, jelas bertentangan dengan Hak Azasi Manusia dan Yurisprudensi Mahkamah Agung,’’ sesal Darwis.

Darwis menuturkan, selama ini, Ahmad, menggarap tanah keluarga seluas 3 ha yang sudah memiliki bukti penguasaan tanah berupa SPPT yang diterbitkan tahun 1990.

Sementara itu pihak perusahaan mengeklaim, bahwa tanah yang dikerjakan oleh Ahmad, berada dalam Konsesi HTI, yang telah mendapatkan izin dari pemerintah pada tahun 1996.

‘’Pada akhirnya, terungkap fakta hukum dalam persidangan, bahwa kawasan hutan di KTT belum pernah dilakukan penataan batas, pemetaan dan penetapannya secara hukum, sesuai dengan perintah dari Pasal 14 dan Pasal 15 UU Kehutanan,’’ jelasnya.

Selain itu, PT AHL sebagai pemilik konsesi HTI juga tidak pernah melakukan musyawarah dengan masyarakat Desa Buong Baru yang telah memiliki tanah, tegalan, persawahan atau tanah garapan sebelum izin HTI diterbitkan.

‘’Seharusnya, PT. AHL melaksanakan perintah untuk mengeluarkan tanah-tanah warga desa dari area HTI sesuai dictum keempat dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 88/kpts-II/1996 tentang pemberian HTI,’’ kata Darwis lagi.

Vonis Bebas

Setelah proses persidangan yang berjalan selama 4 bulan 7 hari di Pengadilan Negeri Tanjung Selor, Majelis Hakim yang diketuai oleh Hakim Budi Hermanto, memvonis Ahmad Bin Hanapi AT, tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Dengan kata lain, Ahmad bin Hanapi dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum (Vrijspraak).

Ahmad akhirya dikeluarkan dari Lapas Nunukan, sesuai dengan perintah dalam vonis Majelis Hakim dalam pembacaan putusan.

Ketua tim Penasihat Hukum Terdakwa, Asep Y Firdaus, memberikan apresiasi atas putusan Majelis Hakim PN Tanjung Selor yang dibacakan pada tanggal 10 Oktober 2024 yang membebaskan Ahmad bin Hanapi dari segala tuntutan.

‘’Pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim mengadopsi nota pembelaan yang disampaikan Penasihat Hukum. Khususnya mengenai bahwa PT. AHL tidak menjalankan kewajiban hukumnya sebagaimana diperintahkan oleh keputusan Izin HTI dari Menteri,’’ ujarnya.

Selain itu, lanjut Asep, majelis hakim juga setuju bahwa klaim hak atas tanah yang dimiliki oleh Ahmad bin Hanapi di dalam kawasan hutan, tetap dinyatakan sah, karena sampai saat ini, Kementerian LHK tidak pernah melakukan pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan perintah Pasal 14 dan 15 UU Kehutanan.

Ia menambahkan, putusan tersebut, telah memberi signal keras kepada para pemegang izin usaha kehutanan, agar mengikuti aturan hukum yang berlaku di Indonesia dan memenuhi kewajiban hukumnya dalam menjalankan usaha.

Putusan ini, juga telah memberikan keadilan kepada masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini memperjuangkan hak atas tanahnya yang dimasukkan ke dalam kawasan hutan secara sepihak.

‘’Putusan ini, telah memperbaiki ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat dan masyarakat lokal, yang hak atas tanahnya secara sewenang-wenang dan sepihak, dimasukkan ke dalam kawasan hutan Negara,’’ kata Asep lagi.

Pesan Bagi Pemangku Kebijakan

Ketua GOB Kaltara, Darwis menegaskan, putusan Majelis Hakim PN Tanjung Selor, menunjukkan bahwa rakyat kecil masih ada ruang mendapatkan keadilan, karena selama ini, yang terjadi adalah hak mereka selalu terampas.

‘’Bahkan sepanjang presiden berganti, mulai dari Presiden Soeharto sampai Jokowi, tidak ada proses yang benar tentang pengakuan hak hak adat bagi masyarakat adat. Sehingga Pak Ahmad, ditangkap di tanah sendiri, dikriminalisasi di tanah leluhurnya,’’ katanya.

GOB berkomitmen untuk terus membantu dan memberi pembelaan serius terhadap kasus kasus Ahmad lainnya.

Selain itu, menjadi catatan penting. Kasus Ahmad, merupakan fakta yang menunjukkan berapa kalipun Presiden berganti, Gubernur berganti, Bupati berganti, dan sebentar lagi kita akan melalui Pilkada serentak 2024, ternyata konflik laten antara warga dengan kawasan hutan dan perusahaan kehutanan, tak pernah menjadi sorotan, dan tak pernah diselesaikan sampai sekarang,

‘’Saya menantang seluruh kandidat itu, saya yakin tidak satupun dari mereka memiliki visi misi membicarakan soal hak masyarakat adat dalam kawasan hutan,’’ tantang Darwis.

Ia menambahkan, berdasarkan putusan bebas atas Pak Ahmad, GOB Kaltara menyerukan agar persoalan hak hak masyarakat adat dalam kawasan hutan, harus menjadi perhatian, khususnya bagi para pemangku kebijakan, pengambil kebijakan yang berhubungan dengan Pilkada serentak mendatang.

‘’Dan juga Menteri Kehutanan dan ATR BPN, harus belajar betul dari putusan ini, dan menjadikan putusan ini, sebagai dasar untuk kebijakan agraria di Kaltara, yang berkeadilan bagi rakyat dan masyarakat adat,’’tegasnya.