NUNUKAN, infoSTI – Abdul Hapid Bin Syafarudin, oknum ASN Disdukcapil Nunukan, Kalimantan Utara, yang disidangkan karena dugaan pelecehan seksual terhadap gadis pemohon KTP, pada Rabu (8/5/2024) lalu, dituntut 5 tahun penjara.
Sidang dugaan asusila yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Andreas Sihite ini, digelar tertutup.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Nunukan, Miranda Damara, yang membacakan risalah tuntutan, mengatakan, JPU menuntut agar majelis Hakim PN Nunukan yang memeriksa dan mengadili perkara ini, berkenan memutuskan, menyatakan Terdakwa Abdul Hapid SE Bin Syafarudin, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘yang menyalahgunakan wewenang memaksa untuk melakukan dilakukan perbuatan cabul dengannya’, sebagaimana diatur dan diancam dalam dakwaan pertama pasal 6 hurif c undang undang Nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual.
‘’Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Abdul Hapid Bin Syafarudin, oleh karena itu, dengan pidana penjara selama 5 tahun dikurangi lamanya terdakwa berada dalam tahanan. Dan pidana denda sebesar Rp 100 juta. Dengan ketentuan, apabila terdakwa tidak dapat membayar pidana denda tersebut, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,’’ ujar Miranda, melalui pesan tertulis, Jumat (8/11/2024).
Selain itu, JPU juga meminta Hakim, untuk menetapkan barang bukti berupa, baju wanita lengan panjang warna coklat, baju manset lengan panjang coklat, celana panjang wanita coklat, jilbab pashmina bermotif dengan warna coklat kombinasi abu abu, agar dirampas untuk dimusnahkan.
‘’Membenbankan kepada terdakwa, untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 5000,’’ lanjut Miranda.
Diberitakan sebelumnya, seorang gadis berinisial SF (21), warga Jalan Muhammad Hatta, Nunukan, Kalimantan Utara, mengaku dilecehkan pejabat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), saat membuat KTP.
Sebagaimana diceritakan SF, perlakuan tak senonoh tersebut terjadi pada Rabu (8/5/2024) sekitar pukul 09.00 wita.
SF datang ke Dukcapil tanpa memiliki dokumen persyaratan pembuatan KTP. Karena sejak usia 6 tahun, ia diajak orangtuanya ke Malaysia sebagai TKI.
SF pun diminta masuk ruangan oknum ASN yang merupakan seorang Kepala Bidang (Kabid).
Di ruangan tersebut, oknum ASN bernama AH menanyakan apakah SF memiliki tato. Kemudian AH meminta SF yang mengenakan pakaian syar’i menunjukkan kedua lengannya.
“Saya terpaksa kasih lihat dia. Saya naikkan lengan baju sampai bahu. Masih lagi dia tanya apakah rambut saya pirang. Karena kalau pirang tidak bisa dibuatkan KTP. Dia ancam robek berkas saya kalau tidak mau kasih nampak rambut,” beber SF.
Tak sampai di situ, oknum ASN tersebut, juga meminta SF menyanyikan lagu Indonesia Raya, sebagai syarat memiliki KTP.
SF yang tumbuh besar di Malaysia mengaku tak hafal lagu Indonesia raya. SF meminta waktu tiga hari untuk menghafalkan lagu tersebut.
“Dia bilang tidak bisa, kalau mau KTP jadi tapi tidak hafal lagu itu (Indonesia Raya), ada syarat lebih mudah, cium pipi kanan dan kiri,” lanjutnya.
SF yang sendirian dalam ruangan tersebut hanya bisa diam terpaku saat oknum ASN tersebut tiba-tiba beranjak dari kursi lalu menutup rapat pintu ruangan kantornya. Sementara SF diminta cepat mendekat ke pintu.
Sambil memegang pegangan daun pintu, kepala SF ditarik paksa. Selanjutnya, oknum ASN itu mendaratkan ciuman di wajah sampai bibir SF, dan menggerayangi tubuhnya.
“Saya langsung berontak, melepas paksa rengkuhannya. Saya keluar menangis. Sempat ada yang tanya mengapa saya menangis, saya sangat malu bicara kalau saya dilecehkan. Saya hanya jawab kalau saya tidak hafal lagu Indonesia Raya,” tutur SF sembari menangis.