NUNUKAN – Dedi Kamsidi, Penasehat Hukum Terdakwa Abdul Hapit SE Bin Syafarudin, ASN Disdukcapil Nunukan, yang menjadi terdakwa kasus dugaan pelecehan seksual gadis pemohon KTP, meminta agar kliennya dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan.
Hal tersebut, dikarenakan berkas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Nunukan dianggap kabur/obscuur libel, sehingga malah membingungkan (confuse) dan berpotensi menyesatkan (Misleading).
‘’JPU hendaknya lebih bijaksana melihat masalah ini, karena sejatinya yang dilakukan Terdakwa Abdul Hapit Bin Syafarudin, atas dasar perintah jabatan sebagai ASN yang tetap berpedoman pada SOP, sebagaimana telah diatur Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kemendagri,’’ ujar Dedi Kamsidi, dalam sidang eksepsi yang dipimpin Hakim Andreas Sihite, Rabu (11/9/2024).
Menurut Dedi, perkara Abdul Hapit, terkesan dipaksakan, sehingga uraian dalam dakwaan JPU tidak mendetail, dan hal tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
Apabila isi dakwaan tidak memenuhi Pasal 143 ayat (2) KUHAP, maka dakwaan tersebut dianggap batal atau batal demi hukum.
‘’Dalam perkara aquo terkesan dipaksakan, yang kemudian berujung pada terenggutnya kemerdekaan terdakwa Abdul Hapit Bin Syafarudin, dan rusaknya nama terdakwa,’’lanjut Dedi.
Dalam ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP, memuat bahwa surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan kronologis peristiwa hukum yang dilakukan.
Sementara isi dakwaan JPU, lebih pada opini menyesatkan.
‘’Hal tersebut sangat terlihat ketika JPU menguraikan kronologis peristiwa hukum yang sangat tidak berkesusaian dengan fakta yang dituangkan dalam BAP kepolisian. Maka sudah sepantasnya surat dakwaan rekan JPU dinyatakan obscuur libel, dan selanjutnya surat dakwaan tersebut harus ditolak atau setidaknya tidak dapat diterima,’’ lanjut Dedi.
Bentuk penyesatan/misleading lain, kata Dedi, juga dapat terlihat dari kronologis peristiwa hukum pada dakwaan pertama yang menyatakan ‘Yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain.
Dedi kembali menilai bahwa dakwaan tersebut sangat dipaksakan mengingat Terdakwa melaksanakan segala tugas dan kewenangan, berdasarkan SOP yang berlaku di lingkungan Disdukcapil Nunukan.
Adapun mengenai tidak ada aturan yang mensyaratkan menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam proses verifikasi KTP, Dedi menegaskan, hal tersebut dilakukan kliennya dengan tujuan mengantisipasi WNA masuk ke wilayah Indonesia guna melakukan tindakan tindakan yang tidak diinginkan.
‘’Meskipun secara aturan tidak secara eksplisit disebutkan, namun karena territorial wilayah yang memaksakan untuk melakukan hal tersebut. Mengingat Nunukan berbatasan langsung dengan Malaysia,’’ jelas Dedi.
Dengan uraian diatas, Dedi meminta Majelis Hakim menerima keberatan (eksepsi) dari penasehat hukum Abdul Hapit SE Bin Syafarudin sepenuhnya.
Menyatakan surat dakwaan penuntut umum dengan nomor : NO.REG.PERK : PDM-41/KN.Nnk/Eku.2/08/2024 tertanggal 23 Agustus 2024, batal demi hukum atau setidaknya tidak dapat diterima.
Menyatakan perkara aquo tidak dapat diperiksa lebih lanjut.
‘’Menetapkan agar terdakwa Abdul Hapit SE Bin Syafarudin dibebaskan dari tahanan. Memulihkan harkat martabat dan nama baik terdakwa Abdul Hapit Bin Syafarudin,’’ kata Dedi.
Untuk diketahui, sidang kasus ASN Disdukcapil yang diduga melecehkan gadis pemohon KTP sedang tahap peradilan.
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Andreas Samuel Sihite, dengan hakim anggota Bimo Putro Sejati dan Daniel Beltzar.
Pada sidang perdana, JPU Kejari Nunukan, Desta Adi Landya, menguraikan sejumlah fakta perbuatan tak senonoh Abdul Hapit kepada gadis pemohon KTP, SF (21), warga Jalan Muhammad Hatta, Nunukan.
Uraian dalam berkas dakwaan sama persis dengan pengakuan SF, di mana ia mengalami pelecehan seksual saat mengajukan permohonan pembuatan KTP, Rabu (8/5/2024) sekitar pukul 09.00 wita. SF datang ke Dukcapil tanpa memiliki dokumen persyaratan pembuatan KTP.
Karena sejak usia 6 tahun, ia diajak orangtuanya ke Malaysia sebagai TKI.
SF pun diminta masuk ruangan Abdul Hapit, yang merupakan seorang Kepala Bidang (Kabid).
Di ruangan tersebut, Abdul Hapid menanyakan apakah SF memiliki tato. Kemudian AH meminta SF yang mengenakan pakaian syar’i (berjilbab besar) menunjukkan kedua lengannya.
“Saya terpaksa kasih lihat dia. Saya naikkan lengan baju sampai bahu. Masih lagi dia tanya apakah rambut saya pirang. Karena kalau pirang tidak bisa dibuatkan KTP. Dia ancam robek berkas saya kalau tidak mau kasih nampak rambut,” beber SF.
Tak sampai di situ, Abdul Hapid, juga meminta SF menyanyikan lagu Indonesia Raya, sebagai syarat memiliki KTP.
SF yang tumbuh besar di Malaysia mengaku tak hafal lagu Indonesia raya. SF meminta waktu tiga hari untuk menghafalkan lagu tersebut.
“Dia bilang tidak bisa, kalau mau KTP jadi tapi tidak hafal lagu itu (Indonesia Raya), ada syarat lebih mudah, cium pipi kanan dan kiri,” lanjutnya.
Padahal, berdasarkan Permendagri Nomor 108 Tahun 2019 tentang peraturan pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 tahun 2018, tentang persaratan dan tata cara pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil , dalam proses verifikasi dan valisasi terhadap formulir biodata penduduk, tidak mensyaratkan adanya pemeriksaan tattoo dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
SF yang sendirian dalam ruangan tersebut,
hanya bisa diam terpaku saat Abdul Hapit tiba-tiba beranjak dari kursi lalu menutup rapat pintu ruangan kantornya.Sementara SF diminta cepat mendekat ke pintu sambil memegang pegangan daun pintu, kepala SF ditarik paksa, dan mendapat tindakan pelecehan seksual.
“Saya langsung berontak, melepas paksa rengkuhannya. Saya keluar menangis. Sempat ada yang tanya mengapa saya menangis, saya sangat malu bicara kalau saya dilecehkan. Saya hanya jawab kalau saya tidak hafal lagu Indonesia Raya,” tutur SF.
“Terdakwa Abdul Hapit juga dijerat dengan Pasal 289 KUHP, karena terdapat unsur ‘dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan untuk dilakukan perbuatan cabul,” kata Desta.