NUNUKAN, infoSTI – Eks Direktur RSUD Nunukan, Kalimantan Utara, dr.Dulman Sp.Og, membuka awal mula masalah yang terjadi di RSUD Nunukan, sampai akhirnya dinyatakan nyaris bangkrut pada pertengahan 2024.
Ditemui pasca menjalani sidang online Tipikor, atas dugaan mark up anggaran BLUD RSUD Nunukan tahun anggaran 2021 – 2022 yang melibatkan dirinya dan eks Bendahara RSUD Nunukan, Nur Hasanah, Dulman mengaku, dihentikannya bantuan APBD bagi RSUD, menjadi sumber masalah yang terjadi selama ini.
‘’Pemda menyetop bantuan keuangan ke RSUD kalau tidak salah sejak 2019 atau awal 2020. Kalau tadinya listrik, air, gaji honor, ATK, masih ditalangi APBD, bantuan tersebut dihentikan. Sampai akhirnya masalah keuangan muncul dan berpengaruh dalam segala sektor,’’ ujarnya, ditemui, beberapa waktu lalu.
Pemda melalui Asisten 1 saat itu, mengatakan bahwa RSUD Nunukan seharusnya bisa mandiri dengan sistem BLUD.
Kebijakan tersebut, dikuatkan dengan telfon Bupati Nunukan, Asmin Laura Hafid, yang menguatkan keputusan penyetopan bantuan anggaran dimaksud.
Alhasil, semua pembayaran dibebankan ke BLUD, dan RSUD Nunukan terus menerus menumpuk hutang ke vendor obat obatan maupun alat medis.
‘’Yang tidak difahami oleh Bagian Keuangan Pemda Nunukan, begitu juga oleh Bupati, adalah sistem pembayaran RSUD dilakukan dengan pedoman INA CBG ketika kita menggunakan sistem BLUD. Sistem ini, menekan biaya real RSUD. Kalau klaim pasien Rp 15 juta, maka dikonversi ke INA CBG menjadi sekitar Rp 5 juta, sehingga pemasukan RSUD tentu saja jauh dari target,’’ jelas Dulman.
Ia menegaskan, saat Pemda menyatakan penyetopan bantuan anggaran, Dulman sudah meminta agar ada uji kelayakan atau semacam evaluasi, agar kebijakan tersebut tidak merugikan Pemkab Nunukan di kemudian hari.
Namun, bagian keuangan Pemda Nunukan justru meminta agar RSUD menganut sistem ekonomi, dimana harus menekan modal sekecil mungkin, tetapi hasilnya harus besar.
‘’Saya beberapa kali minta RDP (Rapat Dengar Pendapat) ke DPRD Nunukan. Tapi kondisi RSUD, masih belum berubah. Saya berdebat dengan para sarjana ekonomi di Pemda Nunukan, mana bisa dalam hal kesehatan menerapkan prinsip ekonomi. Kita ambil contoh, pasien butuh oksigen lima liter, kita beri satu liter, mati orang. Harus minum obat tiga kali sehari, kita jadikan satu kali sehari. Tidak seperti itu penanganan kesehatan,’’ sesalnya.
Dulman menegaskan, sistem BLUD di RSUD Nunukan sangat bisa diterapkan ketika tariff yang digunakan adalah tarif real, atau tarif normal.
Bukan menggunakan patokan INA CBG.
Jika menggunakan sistem riil, Dulman menghitung, pemasukan RSUD Nunukan bisa mencapai Rp 180 miliar setahun, bahkan lebih.
Dengan penghasilan tersebut, RSUD Nunukan dipastikan tidak akan menumpuk hutang, bahkan mampu memberi subsidi kepada Pemerintah Daerah.
Akan tetapi, karena aturannya RS Pemerintah harus mengacu pada INA CBG BPJS, maka Pemda sudah seharusnya memberikan bantuan demi kelancaran dan optimalisasi layanan medis RS satu satunya di Kabupaten Nunukan ini.
‘’Kalau berhitung pemasukan RSUD Nunukan, sebulan itu paling banyak Rp 5,5 m. Dipotong PPN, 11 persen menjadi Rp 4,9 M. Pembayaran rutin kita tiap bulan Rp 4,7 m, sisa Rp 200 juta. Ini belum untuk belanja obat, BHP dan lainnya. Menurut PPTK, kita butuh belanja obat Rp 600 hingga Rp 800 juta perbulan, katakanlah masih minus Rp 400an juta. Itu yang membuat RSUD terus menumpuk hutang tiap bulan,’’ kata dia.
Yang lebih parah, Dulman mengakui pernah tidak memberi makan pasien selama dua hari, karena keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan.
Iapun bermohon ke BPJS, meminjam uang Rp 20 juta untuk membayar sayur mayur di pasar.
‘’BPJS akhirnya memberi solusi dengan dana talangan bekerja sama dengan Bank BSI. Ada konsekuensi setiap kali BPJS terlambat membayarkan klaimnya ke RS, maka dipotong 1 persen, itu diambil Bank, dan pembayaran dari BPJS mulai lancar sejak itu,’’ tuturnya.
Sering memberikan pelayanan gratis
Sebagai RS Pemerintah, RSUD Nunukan tentu tidak boleh menganut sistem RS Swasta.
Misalnya, apabila pasien tidak mampu membayar biaya pengobatan, pihak RS bisa meminta jaminan perhiasan, atau harta benda lainnya.
Sebagai RS pemerintah di perbatasan RI – Malaysia, dan satu satunya di Kabupaten Nunukan, pelayanan pengobatan seringkali diberikan secara gratis kepada para deportan dari Malaysia.
‘’Nunukan sebagai perbatasan Negara, sering sekali menerima deportan dari Malaysia. Banyak dari mereka datang ke RSUD Nunukan, tidak ada BPJS, tidak ada uang. Lalu bagaimana kita tega menarik bayaran dari warga Negara yang sudah tertimpa masalah demikian. Kita gratiskan mereka. Bisa dilihat dalam setahun, kalau dikalkulasikan bisa mencapai miliaran juga,’’ kata Dulman.
RSUD juga menerima pasien rujukan dari sejumlah Puskesmas di pedalaman.
Mereka masuk IGD dalam kondisi kritis, dan tidak sedikit yang meninggal dalam penanganan dokter.
Para pasien tersebut, diambil pihak keluarga tanpa membayar biaya medis yang besarannya puluhan juta, sampai Rp 150an juta.
‘’Kita juga gratiskan, mereka terkena kemalangan. Kita mau nagih ke siapa kalau begitu. Unsur yang seperti ini, tidak difikirkan Pemda ketika memutuskan menghentikan bantuan anggaran untuk RSUD,’’ kata Dulman lagi.
Tak mendapat bantuan anggaran Covid-19
Yang lebih parah, kata Dulman, Pemda Nunukan tidak sepeserpun memberikan bantuan untuk penanganan covid-19 ke RSUD Nunukan.
‘’Saya diminta melakukan penanganan terbaik dan maksimal untuk covid-19. Kita di perbatasan Negara tentu dihantam kedatangan orang dari Malaysia, karena pemulangan TKI. Tapi anggaran, kami tidak sepeserpun dikasih,’’ tuturnya.
RSUD bahkan berhutang ke kontraktor untuk membangun dua gedung isolasi pasien covid-19.
Menambah hutang obat obatan dan Alkes kepada sejumlah vendor, dengan harapan, hutang tersebut akan dibayarkan oleh Pemda Nunukan.
Faktanya, RSUD menanggung sendiri semua biaya, sampai perbaikan kerusakan alat medis. Semua masalah tersebut, menggunakan anggaran BLUD.
‘’Jadi kami di RSUD itu sering rapat karena nihilnya anggaran. Kita Bismillah, Tawakkaltu Alalloh saja. Kita tidak tahu klaim covid ternyata sangat besar, dan masalah ini juga yang menambah hutang kami di RSUD,’’ urainya.
RSUD Nunukan juga bersyukur, banyak bantuan dari banyak Parpol untuk penanganan covid-19 pada 2020 – 2021 lalu.
Selain itu, Dulman dengan koneksinya di Kemenkes RI, mendapat banyak kemudahan dalam mendatangkan obat dan Alkes.
‘’Dan satu yang ingin saya koreksi dari pernyataan RSUD Nunukan kolaps. RS tidak kolaps karena masih ada layanan rawat inap dan rawat jalan. Hanya layu saja, dan butuh bantuan anggaran. Kalau ada bantuan anggaran, masalah tidak akan menjadi seperti sekarang kondisinya,’’ Dulman menyesalkan.
Dewan Pengawas (Dewas) BLUD RSUD Nunukan, bahkan mengakui, siapapun direkturnya, ketika RSUD tidak dibantu APBD, kondisinya tidak akan baik baik saja.
‘’Dan satu lagi, saya tidak pernah menolak bantuan Pemda Nunukan. Bupati Laura pernah mengatakan RSUD Nunukan menolak dibantu, logikanya saja, tidak mungkin ada penolakan ketika bantuan tersebut menjadikan RS bisa kembali sehat,’’ tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, Kepala Dinas Kesehatan Nunukan, Hj Miskia mengakui kondisi RSUD diambang bangkrut. Bahkan, untuk kas RSUD Bulan Mei 2024, sudah kosong, sehingga tagihan listrik, air PDAM, juga oksigen, tidak terbayar.
“Kas RSUD di bulan Mei 2024 itu nol rupiah. Air PDAM sudah tidak terbayar 5 bulan, sekitar Rp 520 juta. Oksigen masuk 3 bulan belum terbayar. Itu perbulannya Rp 210 juta. Termasuk tagihan listrik PLN. Kita juga sudah di-blacklist oleh sejumlah vendor obat,” ujar Miskia.
Dari pemaparan anggaran RSUD Nunukan, total utang RSUD Nunukan sejak 2021, sekitar Rp 42.287.779.060.
Terdiri dari utang obat, BMHP, BHP dan lainnya. Dengan rincian, utang tahun 2021, sebesar Rp 3,5 miliar.
Utang tahun 2022, sebesar Rp 8 miliar dan utang tahun 2023 Rp 30,7 miliar.
Dari total utang tersebut, RSUD sudah membayar tagihan sebesar Rp 17.317.596.362, sehingga masih tersisa Rp 24.970.182.698.
Sementara pendapatan perbulan RSUD Nunukan, hanya sekitar Rp 5.523.634.800, yang digunakan untuk belanja rutin per bulan, antara lain untuk belanja gaji non PNS, tagihan listrik PLN, tagihan PDAM, tagihan internet, pekerja insentif dokter PPDS, belanja intensif dokter internship.
Belanja jasa pelayanan RSUD, belanja jasa pelayanan kebersihan, belanja makan minum pasien, dengan anggaran sekitar Rp 4.711.777.983,56.
Mengatasi masalah ini, Pemda Nunukan menganggarkan Rp 25,5 miliar untuk RSUD Nunukan.
Dengan rincian, Rp 6,5 miliar dianggarkan di pergeseran anggaran BTT. Dan sisanya, Rp 19 miliar di APBD Perubahan 2024.