oleh

MHA Dayak Agabag Mendemo PT KHL, Menuntut Pembebasan Lahan Desa dari HGU

NUNUKAN, infoSTI – Masyarakat Adat Dayak Agabag di Kecamatan Tulin Onsoi, Nunukan, Kalimantan Utara, melakukan demonstrasi ke perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Karang Juang Hijau Lestari (KHL), menuntut lahan adat yang masuk HGU perusahaan, Senin (26/5/2025).

Masyarakat adat tersebut, berasal dari 9 Desa, masing masing, Desa Kalunsayan, Sekikilan, Tembalang, Salang, Tinampak I, Tinampak II, Tau Baru, Balatikon, dan Naputi.

Aksi yang dipimpin Kepala Adat Besar Dayak Agabag Tulin Onsoi, Basuat bin Batulis, bersama dengan Wakil Kepala Adat Besar Tulin Onsoi, Sibrianus Sati ini, menyuarakan ketidakpuasan terhadap praktik perusahaan perkebunan yang dinilai mengabaikan hak-hak tradisional mereka.

‘’Akar masalah berasal dari tumpang tindihnya klaim HGU PT KHL yang secara sepihak mencaplok wilayah pemukiman, lahan garapan, dan bahkan areal pinggir jalan provinsi yang secara historis merupakan bagian integral dari wilayah adat Tulin Onsoi,’’ ujar Wakil Ketua Adat Besar Tulin Onsoi, Sibrianus Sati.

Ia menegaskan, nihilnya transparansi dalam proses penetapan HGU dan pengelolaan skema plasma, mengindikasikan adanya praktik yang mengabaikan prinsip keadilan agraria dan hak asasi manusia.

Akibatnya, dampak sosial-ekonomi dari konflik semacam ini sangat signifikan, pencaplokan wilayah adat, hingga meniadakan mata pencaharian masyarakat adat.

Disisi lain, lambannya respons atau keberpihakan terhadap kekuatan modal seringkali memperparah ketimpangan struktural, memaksa masyarakat untuk menggunakan jalan demonstrasi sebagai upaya terakhir untuk menarik perhatian publik dan tekanan politik.

“Kasus ini memerlukan intervensi serius dari pemerintah pusat dan daerah untuk memverifikasi ulang batas-batas HGU, mengevaluasi kembali skema plasma yang berjalan, dan secara fundamental mengakui serta melindungi hak-hak masyarakat adat Tulin Onsoi. Tanpa pengakuan resmi terhadap wilayah adat, posisi tawar masyarakat dalam negosiasi seringkali melemah”, tegas Sati.

Selain itu, masyarakat Adat Dayak Agabag juga menegaskan tuntutan mereka terhadap hak-hak agraria yang terampas oleh klaim Hak Guna Usaha (HGU) PT Karangjoang Hijau Lestari (KHL) serta persoalan kemitraan dan skema plasma dengan PT Tirta Madu Sawit Jaya.

‘’Pemerintah daerah dan pihak perusahaan diharapkan dapat segera merespons tuntutan masyarakat adat Tulin Onsoi secara konstruktif dan proporsional, demi mencegah eskalasi konflik yang lebih luas serta mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat,’’ kata Sati.

Dalam aksi demo ini, masyarakat adat Dayak Agabag Tulin Onsoi juga membacakan 14 point tuntutan. Yaitu,

  1. Perusahaan diwajibkan sosialisasi terkait replanting (penumbangan dan penanaman kembali pohon sawit).
  2. perusahaan wajib transparan atas luasan lahan dan hal terkait perizinan berusaha.
  3. Perusahaan wajib memenuhi 20 persen lahan plasma bagi masyarakat
  4. Perusahaan wajib sosialisasi perbedaan plasma 20 persen dengan lahan kemitraan, dimana saat ini tidak ada kejelasan dalam pelaksanaannya di lapangan.
  5. perusahaan diwajibkan melakukan pemenuhan pembayaran plasma 20 persen tidak pernah dilakukan PT Tirta Madu Sawit Jaya, selama ini yang membayar ke masyarakat PT KHL sementara yang beroperasi di wilayah Kecamatan Tulin Onsoi PT TMSJ.
  6. Baik rapat kemitraan maupun rapat rapat lain yang berkaitan dengan operasional perusahaan dan kepentingan masyarkat dilakukan di wilayah Kecamatan Tulin Onsoi.
  7. MHA tidak menerima keberadaan oknum yang selama ini selalu mengatasnamakan adat besar secara sepihak sehingga menimbulkan dampak merugikan hak hak masyarakat yang diambil oleh perusahaan perusahaan di wilayah Tulin Onsoi.
  8. perusahaan wajib menyelesaikan permasalahan pembagian uang plasma, dimana selama ini berjalan tidak adil. Tidak merat, tidak proporsional, diantara desa desa yang berada di Tulin Onsoi.
  9. Guna terserapnya tenaga kerja, perusahaan perlu meningkatkan kuota masyarakat lokal, diutamakan masyarakat Tulin Onsoi.
  10. pembahasan ulang terkait pembaharuan atas perjanjian antara perusahaan dan masyarakat mengingat perjanjian yang ada kurang relean saat ini.
  11. mengingat adanya peningkatan pertumbuhan penduduk dan banyak wilayah desa yang rawan banjir khususnya desa di bantaran sungai Tulin, perusahaan bersedia melepaskan/mengeluarkan dari peta kerja. Lahan 500 meter sepanjang jalan provinsi Trans Kaltara, dan 250 meter sepanjang jalan Pemda, dan MHA akan melakukan pemasangan patok di areal Jalan Provinsi dan areal kemitraan.
  12. Perusahaan wajib meningkatkan program CSR yang sampai hari ini tidak dirasakan oleh MHA Dayak Agabag.
  13. Pembentukan Koperasi Koperasi tingkat desa sebagai mitra, sehingga perusahaan tidak bermitra pada satu koperasi saja, sehingga program kemitraan dngan perusahaan dengan masyarakat bisa berjalan lebih obyektif dan tepat sasaran.
  14. Perusahaan berlaku tegas terhadap koperasi mitra jika melakukan penyimpangan atas kerjasama kemitraan sebagaimana perjanjian.

Perwakilan perusahaan yang hadir, Wilprid, yang merupakan manager umum di cabang PT KHL, mengatakan, seluruh pembahasan dan tuntutan Masyarakat Adat Dayak Agabag Tulin Onsoi, akan disampaikan ke managemen.

‘’Yang menjadi catatan adalah, kami tidak bisa melarang adanya pemasangan patok. Namun kami berharap, ketika kita mengawali proses dengan cara baik, kedepan kalau bisa dibuka ruang untuk menyelesaikan persoalan secara baik pula,’’ kata Wilprid.

Ia menambahkan, semua pihak, tentu menginginkan solusi yang baik untuk kedua belah pihak.

Aksi pemasangan patok, dikhawatirkan menimbulkan masalah baru yang menambah panjang daftar masalah yang telah ada.

‘’Intinya kita akan sampaikan tuntutan masyarakat ke managemen. Tapi kami minta secara tertulis, agar apa yang kita sampaikan ke atasan juga utuh,’’ kata dia.