NUNUKAN, infoSTI– Desa Wa’Yagung, di dataran tinggi Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara, menjadi potret buram kondisi perbatasan RI – Malaysia.
Desa yang tercatat dalam administratif Kecamatan Krayan Timur ini, merupakan sebuah desa terisolir, yang ada di tengah hutan, berjarak sekitar 16 Km dari Ibu Kota Kecamatan Krayan Timur.
Menuju ke Desa Wa’Yagung, masyarakat akan menempuh jalanan tanah liat yang akan menjelma lumpur saat hujan.
Terkadang, mereka harus menyusuri jalan setapak di hutan, menerobos banyak tanaman hutan yang daunnya dipenuhi lintah.
Bagi warga setempat, mereka punya cara sendiri agar lintah lintah tersebut tidak menempel di badan dan menyedot darah mereka.
Namun bagi pendatang, badan mereka akan dipenuhi lintah daun yang menggemuk ketika melewati jalan setapak, masuk Desa Wa’Yagung.
‘’Sekarang ada jalan yang dibuka pemerintah, tapi baru separuh. Cuma sampai Long Umung, itu masih sekitar 12 Km lagi menuju desa kami Wa’Yagung,’’ ujar salah satu tokoh masyarakat adat Wa’Yagung, Rian Antoni, ditemui, Selasa (7/1/2025).
Jalan yang dibuka pemerintah juga hanya sebatas pembukaan jalan, dan masih jauh dari kata layak.
Masyarakat Desa Wa’Yagung masih bermimpi memiliki akses jalan layak untuk membantu perekonomian mereka.
Masyarakat ingin anak anak mereka bisa pulang pergi sekolah tanpa harus khawatir, terpeleset di jembatan saat hujan.
Mereka ingin merasakan listrik, juga jaringan internet, seperti masyarakat di desa lainnya.
‘’Masyarakat kami kesulitan menjual hasil panen. Buah buahan membusuk begitu saja karena susahnya akses keluar. Sederhana saja permintaan kami, mohon berikan kami akses jalan yang layak,’’ ujarnya lagi.
Jembatan gantung sudah rusak
Untuk menuju Wa’Yagung, kita harus melewati akses satu satunya, termasuk Jembatan Wa’Yagung yang ada di Long Umung.
Rian mengatakan, kondisi jembatan gantung dengan panjang sekitar 70an meter ini, menjadi akses penghubung satu satunya Wa’Yagung ke Desa Bungayan dan wilayah lain.
Saat ini, kondisinya sudah lapuk, dan mengancam nyawa.
‘’Tiga tahun terakhir, sudah ada empat orang dengan motornya tercebur ke sungai. Kami tidak ingin kejadian seperti ini terulang,’’ kata dia.
Jika jembatan tersebut putus, Wa’Yagung akan benar benar terputus dengan dunia luar.
Bahkan saat ini saja, harga Bapokting seperti semen, dibanderol Rp 650.000/zak.
Harga asal Rp 150.000, harus ditambahkan dengan biaya angkut menuju Desa Wa’Yagung, melintasi jembatan gantung Rp 400.000.
Sebenarnya, masih banyak anak sungai setelah melintasi jembatan Wa’Yagung.
Selama ini, masyarakat juga swadaya membangun jembatan dari kayu gelondongan, ketika terjadi kerusakan.
Adapun jembatan gantung Wa’Yagung, dikatakan Rian, sudah sejak 2004 belum pernah ada perbaikan.
Saat hujan, warga juga menebang dua batang pohon untuk diikatkan di kanan kiri motor mereka, sebagai pemikul. Karena kondisi jalanan tidak bisa dilewati.
‘’Jadi bisa dibayangkan bagaimana kondisi kami. Terisolir, listrik PLN belum masuk, apalagi internet. Kami hidup di jaman yang jauh dari kata modern,’’ kata Rian.
Satu kampung pikul warga sakit
Anak anak sekolah asal Wa’Yagung juga hanya pulang saat akhir pekan, dan kembali berangkat Minggu siang.
Mereka berjalan kaki ke Desa Long Umung bagi yang SMP, dan ke Desa Long Bawan untuk yang SMA/SMK.
‘’Anak anak kami, pulang hari Sabtu, menginap semalam di rumah. Kembali ke semacam asrama di Ibu Kota Kecamatan membawa beras dan bekal makanan. Kalau saja akses bagus, mereka bisa pulang tiap hari. Sepi rumah tanpa anak anak,’’ tutur Rian.
Selain itu, ada sebuah keterpaksaan yang saat ini menjadi tradisi. Dimana warga satu kampung keluar, untuk menandu warga yang sakit.
Sekitar 200an KK penghuni Desa Wa’Yagung, akan meninggalkan pekerjaan mereka di kampung, meninggalkan sawahnya, untuk bergantian menandu tetangganya untuk dibawa ke Puskesmas atau ke Bandara ketika butuh dirujuk.
Warga akan berangkat pada pagi hari pukul 07.00 wita, mendaki gunung, dan sampai di puncak gunung biasanya pukul 12.00 wita.
Mereka akan beristirahat, makan dan melepas penat, setelah itu, melanjutkan memikul warga sakit turun gunung, menuju Ibu Kota Kecamatan, hingga pukul 18.00 wita.
‘’Satu kampung keluar menandu warga sakit itu menjadi tradisi. Saya bersyukurnya warga tidak ada yang mengeluh. Mereka juga sudah malas berteriak masalah keadilan dan pembangunan. Jadi mereka lebih memilih diam, menikmati keadaan meski harapan mereka punya akses mudah, tidak pernah hilang,’’ urai Rian.
‘’Kami selalu berharap, kondisi kami disini diketahui warga di luar sana. Ini wajah perbatasan Negara. Dan harapan pembangunan dari pinggiran yang sering kami dengar dari Jakarta sana, bisa kami rasakan,’’ tutup Rian.